Selasa, Juli 22, 2008

Tidak Ada Yang Instan

Oleh: Sumardi Evulae* Saya bertanya kepada beberapa teman mahasiswa semester akhir “Apa tujuan kalian setelah kuliah ini selesai dan kalian jadi sarjana?” “Ya jelas kerja dong...” ini jawaban spontan. “Kerja apa dan di mana?” “Apa saja, kalau bisa sih yang sesuai dengan bidang Saya. Kalau nggak dapat, pekerjaan lain juga tidak masalah. Yang penting kerja dan dapat gaji.”
Maksudnya jelas, mereka akan mencari kerja, dalam arti mencari pekerjaan di perusahaan siapa saja dengan pekerjaan apa saja kalau tidak ada yang pas, yang penting dapat gaji, uang. Itu adalah cita-cita mereka. Selama Saya ngobrol dengan teman-teman mahasiswa jarang sekali Saya mendapatkan jawaban, bahwa setelah kuliah ini mereka akan membuat atau menciptakan sesuatu. Menjadi peneliti tentang pendidikan misalnya, kemudian merombak sistem pendidikan yang sering di katakan oleh para pakar pendidikan sebagai tidak betul, tetapi si pakar itu sendiri tidak pernah membetulkan.
Atau misalnya menjadi pencipta dan penemu yang berhubungan dengan pendidikan formalnya, katakanlah seorang Sarjana Ekonomi jurusan manajemen yang menjadi suatu sistem manajemen terbaru, yang bisa mengatasi kesenjangan manajemen di suatu kantor yang khas sistem keluarga. Atau seorang lulusan akuntansi yang menemukan suatu sistem tertentu untuk menangkal pungli dan praktik under the table.
Penemu, pencipta, dan peneliti biasanya justru menjadi pekerjaan para pengangguran yang terpaksa mengaku diri sebagai peneliti, pencipta dan penemu supaya tidak di katakan pengangguran. Para fresh graduate lebih senang menjadi kuli untuk membenarkan ungkapan yang ada di jaman penjajahan, van volk van koelies en koeli onder de volken!
Bila ditanya mengapa kok begitu, jawabannya pasti seragam, masalah modal dan pengalaman. “Saya kan nggak punya modal.” “Saya kan nggak punya pengalaman.” Itulah ungkapan golongan Ekonomi bawah. Bagi yang kelas Ekonominya agak ke atas, jawabannya juga seragam, “Ayah kan udah uzur, jadi kita dong yang mesti menggantikan ayah mengurus usaha keluarga.” Susah-susah sekolah sampai ke Amerika, setelah pulang cuma jadi bos bengkel mobil atau ngurusin perusahaan angkutan truk kelas local.
Mahasiswa kita didik oleh profesor dan para pakar yang memakai sistem dogma, betul salah, dan memorisasi. Jadi tidak salah kalau mereka lulus dan memulai hafalannya dengan “mencari kerja” sebagai kuli dan bukan penemu. Para pakar mengatakan dengan bahasa halus bahwa mahasiswa kita tidak siap pakai. Memangnya Mau di pakai untuk apa? Apa ungkapan “tidak siap pakai” itu tidak salah? Bila para mahasiswa tadi seharusnya siap pakai, apa itu tidak berarti menjadi kuli? Apa memang kita produsen kuli dan di takdirkan menjadi bangsa kuli seperti ungkapan kuno itu? Kalau para pakar mengetahui bahwa mahasiswa “tidak siap pakai”, mengapa mereka tidak berusaha mengubah tatanan pendidikan yang diajarkannya agar para mahasiswa itu “siap pakai”, sehingga paling tidak bisa menciptakan kuli yang tidak menganggur? Lalu muncullah jawaban klise dari para pakar, “Mengubah struktur atau sistem pendidikan itu bukan hal mudah, harus melewati prosedur dan birokrasi, kita tidak bisa seenaknya mengubah suatu yang sudah mapan begitu saja …”
Kalau para pakar tetap dengan budaya prosedur, birokrasi, dan minta petunjuk, mohon perkenan, sampai kapanpun keadaan tetap sama. Mengubah struktur dan sistem pendidikan bukanlah seperti yang sering dikatakan para pakar di forum seminar dan lokakarya di hotel mewah atau ruang pertemuan bergengsi lembaga pendidikan. Mengubah struktur dan sistem pendidikan di mulai dengan mengubah cara berpikir para pendidik itu sendiri dan cara berpikir kita dengan pola yang tidak hanya didominasi oleh otak kiri. Bukan dengan mengubah anak didik kita atau mengubah kurikulum melalui seminar atau lokakarya.
Mengubah cara berpikir kita sendiri yang berprofesi pendidik adalah yang terutama dan terpenting. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan soal gaji guru yang kecil dan masih di potong di sana sini, juga tidak berurusan dengan kondisi politik atau siapa presiden atau menteri pendidikannya. Ini hal yang sangat pribadi, sangat personal, tiap orang bersedia dan Mau mengubah cara berpikir dirinya sendiri. Itu saja, sudah lebih dari cukup. Bila dulu seorang guru berpikir menjadi guru adalah sebuah pekerjaan, sekarang ubahlah pikiran itu bahwa menjadi guru adalah sebuah misi, sebuah kebahagiaan meskipun harus dijalani dengan banyak keprihatinan. Ini kurang lebih sama dengan pengabdian seorang abdi dalem kraton di Jawa Tengah. Pengabdian adalah sebuah anugrah, derita fisik dan materi bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kesempatan mengabdi kepada raja.
Bila profesi guru, dosen, dan pengajar masih menjadi sebuah pekerjaan dan bisnis, selama itu pula mahasiswa kita akan lulus dengan titel “tidak siap pakai”. Profesi guru, dosen dan pengajar seharusnya menjadi sebuah ritual yang menciptakan kebahagiaan dan kualitas hidup bagi pelakunya. Itulah upah pokok seorang guru, dosen, atau pengajar.
Sekolah di luar negeri bukanlah solusi selama tatanan dan pola pikir sedari lahir sampai menjelang dewasa tetap dengan tatanan khas yang kita dapat secara umum di negara kita. Dominasi otak kiri kita sudah berjalan cukup lama melewati beberapa generasi, ini di turunkan dan di wariskan lewat berbagai cara secara intensif detik demi detik oleh rata-rata masyarakat kita. Apakah itu bisa berubah begitu saja secara instant melalui pembelajaran atau perubahan kurikulum?
Kebiasaan menghafalkan pelajaran atau diktat (yang gunanya dalam kehidupan patut dipertanyakan), sadar tidak sadar melekat kuat bagai lintah. Kebiasaan matematika-ria setiap saat di setiap cela kehidupan, apapun itu, juga cukup erat juga bagaikan kebudayaan dan kultur. Bahkan kepada Tuhan pun masyarakat kita sangat sering ber-matematika-ria, bila hari ini Saya berbuat sesuatu yang kurang lebih berdosa atau melanggar sesuatu larangan menurut kitab suci, maka Saya harus berdo’a begini dan berbuat begitu supaya dosa tersebut diampuni. Soal individu lain yang kita rugikan melalui perbuatan yang tadi kita mintakan pengampunannya itu, apakah kita juga akan meminta maaf dan mengganti kerugian? Tidak perlu karena kita sudah “diampuni” Tuhan. Benarkah demikian?
Manusia berdo’a demi sebuah kapling di surga, dan ini adalah kenyataan yang bisa kita lihat sehari-hari. Manusia sudah berbisnis dengan Tuhan. Dan Tuhan menjadi pengusaha properti berlabel The Heaven Real Estate. Untuk ini hampir semua unsur dan berbagai sektor kehidupan harus ikut bertanggung jawab. Keadaan seperti ini tidak mungkin kita ubah secara instant menjadi lebih baik dan menjadi lebih seimbang cara berpikirnya. Saat ini ada puluhan juta orang Indonesia menjadi pengangguran, sementara para pejabat serta pakar berkoar soal iklim yang kondusif, bagaimana menarik investor, bagaimana mendapat utang luar negeri dan IMF. Reformasi dan demokrasi sekarang artinya menjadi lain dan sangat bias: bebas menjarah, bebas membakar-bakar, boleh berdemo di mana saja, boleh memaki-maki siapa saja, boleh membakar hidup-hidup seorang pencuri ayam atau sepeda motor. Dan, ini aneh, di balik itu semua kita berusaha mendapatkan label sebagai Manusia-Manusia religius.
Mengubah cara pikir bukanlah dengan agama atau kurikulum tetapi dengan mengubah diri, melakukan perjalanan ke dalam diri dan mengenal spiritualitas sebagai spiritualitas.
Ini yang sulit karena kita harus berani belajar tanpa lembaga, tanpa titel, dan tanpa harapan akan mendapatkan apa-apa. Tindakan ini suatu perjalanan petualangan yang akan menempuh gurun pasir terpanas, sungai dan lautan terganas, tetapi juga sekaligus sebuah hutan misterius yang begitu alamiah dan wangi khas hutan.
Tanpa harapan adalah hal terpenting yang akan menjadi tajuk awal perjalanan kita. Yang selanjutnya adalah pemahaman pada proses dan ketidakpedulian pada hasil akhir. Ini adalah deretan syarat untuk memulai perjalanan panjang tentang pemberdayaan diri dan mengembangkan kemampuan otak kanan.
Apakah Anda siap untuk memulai pelajaran ini? Tulisan ini tidak akan menjadikan Anda orang hebat atau sukses dalam segala bidang, apalagi seorang pintar yang jenius. Penulisnya pun bukan orang istimewa yang pintar dan jenius. Tulisan ini dibuat sebagai sebuah catatan perjalanan, sebuah catatan harian dan memoar untuk mengenang perjalanan panjang yang belum selesai.
Tulisan ini hanya akan menggelitik Anda untuk memulai perjalanan dan kemudian menemani di sepanjang perjalanan itu. Bukan membimbing! Bukan! Bila diinginkan label yang lebih jelas, paling-paling tulisan ini hanya akan menjadi seorang pelayan, seorang pembantu yang siap melayani Anda di dalam perjalanan. karena itu Saya menunggu Anda memulai perjalanan yang tidak bisa instant ini.
“Satu-satunya kata berhasil sebelum kerja keras Hanya ada dalam kamus”
Tulisan yang sederhana ini Saya persembahkan buat teman-teman mahasiswa Universitas Serambi Mekkah, khususnya buat sahabat-sahabat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Universitas Serambi Mekkah (USM). “berbuatlah semaksimal mungkin tanpa harus mengharapkan pujian dan label pahlawan. Karena kemuliaan yang sesungguhnya adalah ketika karya kecil kita menjadi bermanfaat buat umat, dicatat sebagai satu amal oleh malaikat dan mendapat ridha Allah SWT serta menjadi bekal kita kelak di akhirat. Berbuatlah seolah-olah semua bergantung padamu, dan di atas segalanya berdo’alah karena semua bergantung pada Allah SWT”
Yakin Usaha Sampai!!! * General Secretari of Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Serambi Mekkah (BEM-USM) periode 2004-2005, sekarang bekerja sebagai program manager pada NGO AMPPA. bisa di hubungi pada ardi.ev83@gmail.com dan sumardihmi@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


my fan