Kamis, November 20, 2008

BENARKAH TUHAN ITU ADIL?

Tidak sedikit orang yang mengeluh dengan keadaan mereka, atau karier mereka, atau keuangan mereka, atau pencapaian kesuksesan mereka, atau apa saja yang tidak sesuai dengan keinginan mereka। Keluhan ini biasanya berpuncak pada menyalahkan Tuhan. Diri sendiri sudah disalahkan, orang lain pun disalahkan, dan karena sudah tidak ada lagi yang harus disalahkan, maka Tuhan pun ikut disalahkan. Menyalahkan Tuhan ini–apa pun bentuknya–biasanya hanya berujung pada satu masalah utama, keadilan. Tuhan biasanya dianggap sebagai tidak adil dengan membeberkan fakta keadaan mereka. Tapi, benarkah Tuhan itu tidak adil? Kenapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Kenapa ada yang sukses dan ada yang gagal? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda melihat penuturan argumen yang akan saya berikan। Argumen ini dilandasi atas pemikiran filosofis. Tapi tenang saja, saya akan mencoba menyederhanakan argumennya, karena jika sudah berbicara tentang filsafat, maka banyak orang yang merasa pusing dan menyerah. Namun sebelumnya, perlu Anda ketahui bahwa banyak sudah pemikiran filsafat dari berbagai aliran yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Saya pun sudah mempelajari hampir semua aliran filsafat yang menjawab pertanyaan ini, dan dari sekian banyak aliran pemikiran tersebut saya akan memberikan kepada Anda satu pemikiran yang menurut saya inilah yang terbaik, dalam menjawab seputar keadilan Tuhan tersebut.
Satu hal lagi, saya sengaja menuliskan tulisan ini, sebenarnya, untuk mengajak kita semua agar tidak lagi menyalahkan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Adil। Selain itu, argumen yang biasa orang-orang kemukakan belum terasa puas bagi saya (saya tidak bermaksud menyombongkan diri, lho).
Mari kita melihat definisi dari keadilan itu dulu। Keadilan menurut Murtadha Muthahari–paling tidak–digunakan dalam empat hal: Pertama, seimbang. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah kita melihat segala sesuatu dalam neraca kebutuhan yang bersifat relatif. Mari kita ambil contoh: mobil.
Untuk menciptakan sebuah mobil maka dibutuhkan berbagai bahan-bahan yang sesuai dengan kadarnya masing-masing। Kita tidak bisa membuat sebuah mobil dengan kadar semua bahannya itu sama, karena jika terjadi demikian maka Anda tidak akan pernah bisa membuat mobil yang sempurna. Jika saja Anda membuat sebuah mobil yang terbuat dari bahan-bahan yang kadarnya semuanya sama, maka justru Anda telah menciptakan ketidakseimbangan pada mobil tersebut. Ukuran bodi mobil tidaklah harus sama dengan ukuran pintunya, begitu juga ukuran mesinnya, apalagi ukuran setirnya.
Bisa Anda bayangkan bagaimana mengemudi sebuah mobil yang ukuran setirnya sama dengan ukuran bodinya? Jadi, keseimbangan di sini adalah penempatan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya। Dan alam semesta ini seimbang karena menggunakan definisi keadilan ini. Karena jika tidak, maka alam semesta sudah lama hancur. Itulah sebabnya kita melihat segala sesuatunya di alam ini begitu indah dan proporsional. Dan, Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan sangat seimbang.
Kedua, definisi keadilan di sini adalah persamaan dan menafikan pembedaan, yaitu memandang semuanya sama tanpa melakukan pembedaan। Perlu diketahui bahwa pembedaan itu adalah membeda-bedakan antara berbagai sesuatu yang memiliki hak yang sama yang semuanya memiliki syarat-syarat yang sama. Pembedaan ini berbeda dengan perbedaan. Kalau pembedaan terjadi dari segi pemberi, dan perbedaan terjadi dari segi penerima. Kalau Anda memiliki 10 orang pekerja yang memiliki kualitas yang sama dan jam kerja yang sama serta jenis pekerjaan yang sama, maka adalah adil jika Anda memberikan persamaan pada mereka, yaitu memberikan jumlah gaji yang sama kepada mereka semua. Artinya dari sisi Anda (sang pemberi gaji), Anda tidak membeda-bedakan mereka semua karena semuanya memiliki kualitas yang sama. Jadi sekali lagi, keadilan di sini adalah memberikan persamaan tanpa melakukan pembedaan.
Lanjutan dari definisi kedua ini kita akan sampai pada definisi yang ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya। Kembali kita menggunakan contoh di atas, jika Anda memiliki 10 orang pekerja dan masing-masing dari mereka memiliki kekhasan atau keunikan dalam bekerja, maka adalah adil jika Anda memberikan gaji sesuai dengan keunikan dan usaha yang telah mereka lakukan dan adalah tidak adil jika Anda menyamaratakan gaji mereka semua. Oleh sebab itu, untuk meraih kebahagiaan bagi individu-individu dalam masyarakat, penting kiranya untuk menjaga hak dan preferensi setiap individu dan juga memelihara setiap keunikan setiap individu.
Kita sekarang sampai pada definisi yang keempat, memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi। Wah… mungkin Anda bingung dengan definisi yang agak panjang ini. Namun perlu untuk Anda ketahui, pertanyaan-pertanyaan yang kita telah ajukan di atas berkaitan dengan penjelasan yang ada pada definisi keempat ini. Sebelumnya kita perlu melihat–sekali lagi–antara pembedaan dan perbedaan. Pada definisi kedua kita telah membahas dengan ringkas, maka mari kita lihat penjelasannya dengan sedikit lebih panjang.
Dalam penciptaan tidak ada pembedaan, yang ada hanyalah perbedaan। Untuk lebih jelasnya, cobalah Anda melihat contoh berikut ini: Apabila kita mengambil dua buah bejana yang masing-masing dapat memuat 10 liter air, lantas kita letakkan yang satu di bawah kran air dan kita isi dengan 10 liter air, sedangkan bejana yang lain kita letakkan di bawah kran dan kita isi dengan 5 liter air; maka inilah yang dimaksud dengan pembedaan, sebab sumber perbedaan di sini bukan dari segi daya muat bejana, melainkan dari segi si pengisi bejana.
Lain halnya jika kita memiliki dua buah bejana dan yang satu cukup untuk diisi 10 liter air, dan yang lainnya hanya dapat diisi 5 liter air, lantas masing-masing kita celupkan ke dalam laut, maka perbedaan di antara keduanya akan terus berlanjut, karena perbedaannya bersumber dari segi kemampuan masing-masing, bukan dari segi laut atau kekuatan masuknya air ke dalam bejana। Bukankah penelitian-penelitian telah membeberkan kepada kita bahwa potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita semua adalah sama?
Jadi perbedaan antara yang sukses dan yang gagal itu berasal dari kita sendiri: Apakah mau memperbesar bejana kita atau hanya membiarkannya begitu saja dan berharap hal itu akan berubah? Semua hamba-Nya telah diberikan jumlah rezeki yang sama dan sangat berlimpah, hanya ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat besar, dan ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat kecil sekali।
Nah kembali pada definisi keempat di atas, dapat kita jabarkan bahwa suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya। Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya.
Sampai di sini mungkin ada yang bertanya: Kalau saat ini saya miskin, maka inilah hak saya? Atau, pertanyaan-pertanyaan serupa yang berkaitan dengan keburukan, ketidakberuntungan, nasib jelek, dan kejahatan; atau kenapa yang lain sukses dan yang lainnya gagal, atau kenapa yang satu cantik dan yang lain jelek? Kenapa ada juga yang cacat? Kenapa saya tidak terlahir kaya?
Mari kita lihat kembali penjabaran dari definisi keempat di atas। Suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya. Segala sesuatunya pasti memiliki kadar yang berbeda-beda. Jika segala sesuatunya itu sama, maka justru tidak lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Segala sesuatu yang ada ketika eksis (meng-ada) telah mengambil porsi perwujudan mereka masing-masing.
Mari kita sederhanakan hal ini dengan melihat sistem angka। Anda tentu mengenal angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Kita dapat melihat bahwa angka 1 mendahului angka 2, dan angka 2 mendahului angka 3, dan begitu seterusnya. Ini berarti bahwa setiap angka menempati urutannya masing-masing, dan pada urutan tersebut terdapat hukum dan pengaruh. Anda tidak mungkin menempatkan angka 5 di antara angka 7 dan 9, karena sesungguhnya wujud yang sesuai dengan kadarnya di antara angka 7 dan 9 adalah angka 8.
Nah, dalam setiap penciptaan alam semesta, segala sesuatunya telah menempati urutan meng-ada seperti itu; dengan kata lain Anda dan segala sesuatu yang ada telah meng-ada sesuai dengan kadar yang dimilikinya। Dan adalah suatu ketidakadilan jika Tuhan justru melanggar hal ini karena telah mencegah kelanjutan eksistensi dari sesuatu dan kemungkinan terciptanya sebuah transformasi. Dengan demikian segala sesuatunya itu–yang tercipta sesuai dengan kadarnya–adalah suatu bentuk kesempurnaan yang Tuhan berikan. Dan ini adalah prinsip dari hukum sebab-akibat, di mana setiap akibat pasti memiliki pengaruh dari sebabnya, dan setiap sebab pasti mendahului akibat. Angka 1 mendahului angka 2, dan keberadaan angka 2 terdapat hukum dan memiliki pengaruh dari angka 1. (Saya mohon Anda jangan menanyakan: Lantas apa yang menjadi penyebab dari Tuhan? Karena jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesuai dengan maksud dari tulisan ini).
Itulah sebabnya, yang ada itu hanyalah perbedaan dan bukan pembedaan। Tuhan telah melimpahkan rahmatnya, hanya saja perbedaan itu terjadi sesuai dengan kadarnya dan urutan kepenciptaannya, yang berlandaskan pada hukum sebab-akibat (seperti analogi angka di atas). Angka 1 tentu berbeda dengan angka 2. Angka 2 tentu berbeda dengan angka 3, dan begitu seterusnya. Setiap angka telah menduduki urutan terciptanya dan telah sesuai dengan kadarnya. Setiap angka itu telah sempurna dan sesuai dengan kadarnya.
Jadi, jika Anda berharap untuk dilahirkan sebagai seseorang yang Anda anggap sempurna, maka pada hakikatnya Anda sudah tidak menjadi Anda lagi (lihat analogi penempatan angka di atas)। Adalah sebuah hal keliru jika kita mencoba membandingkan antara angka 1 dan angka 2, atau membandingkan angka 2 dengan angka 3. Bagaimana pun kita membandingkan, yang ada hanyalah perbedaan; karena seperti yang telah kita singgung di atas bahwa perbedaan itu terjadi dari sisi kadar si penerima dan urutan keberadaannya.
Perbedaan tidak mengisyaratkan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnaan। Mengatakan yang satu tidak sempurna dibandingkan yang lain adalah suatu pemikiran yang mencoba memaksa untuk menyamakan segala sesuatunya. Dan seperti yang telah saya katakan di atas, jika segala sesuatunya itu sama, maka tidak ada lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, atau hewan, atau apapun namanya. Pada dasarnya semuanya adalah sempurna dalam kadarnya masing-masing.
Itulah sebabnya dalam definisi keempat juga disebutkan bahwa terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Perbedaan itu justru mengisyaratkan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh. Dengan demikian apa pun yang Anda alami adalah suatu bentuk kesempurnaan dalam kadar yang Anda miliki. Hal ini menjelaskan juga kenapa setiap orang itu tidak ada yang sama alias unik. Apapun adanya Anda sekarang dan bagaimana diri Anda sekarang adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Membandingkan dua hal yang berbeda adalah suatu hal yang tidak bijaksana dan sangat keliru. Kesempurnaan Anda dengan kadar Anda saat ini juga memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk melakukan sebuah transformasi dan kemungkinan eksistensi (perbaikan) yang lebih baik. Oleh karenanya, saya ingin mengajak Anda untuk melihat contoh yang begitu menarik. Contoh ini berkisah dari seekor anjing yang saya tonton di acara Oprah. Terdapat seekor anjing yang terlahir cacat (ingat, kita menyebutnya cacat karena kita membandingkannya dengan anjing normal lainnya). Anjing ini bernama Faith dan terlahir dengan hanya memiliki dua kaki belakang. Dalam pandangan keadilan, ini adalah sebuah kesempurnaan yang sesuai dengan kadarnya. Jika Anda membandingkannya dengan anjing yang memiliki jumlah kaki empat, maka sesungguhnya Anda akan mengatakan Faith sebagai anjing yang cacat. Padahal Faith adalah anjing yang sempurna yang sesuai dengan kadarnya. Jangan membandingkan dua hal yang tidak sebanding; dua kaki dan empat kaki itu tidak sebanding. Yang membuat saya berdecak kagum adalah, dalam kadarnya yang demikian, Faith masih bisa melakukan kemungkinan eksistensi (perbaikan diri; transformasi). Faith sekarang bisa berjalan dengan hanya menggunakan dua kakinya yang ada, padahal banyak dokter yang menyarankan untuk membunuh anjing tersebut dengan melihat kemungkinan bahwa Faith takkan bisa berjalan sama sekali. Luar biasa, bukan?
Percayalah bahwa Tuhan memberikan rahmat dan kelimpahan-Nya yang sama kepada semua makhluk, dan Anda bisa melakukan transformasi untuk membuat bejana Anda menjadi lebih besar. Perbedaan mengisyaratkan transformasi. Sekiranya tak ada gunung, maka tak akan mungkin ada lembah dan air yang mengalir darinya. Sesuatu yang Anda anggap buruk belum tentu buruk bagi dirinya sendiri; karena–sekali lagi– membandingkan dua hal yang tidak sama adalah tidak pada tempatnya. Dan Tuhan tentu memelihara segala sesuatunya yang berada dalam kadarnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil. Anda telah sempurna dalam posisi Anda saat ini, dan Anda bisa melakukan transformasi bagi diri Anda sendiri. Semoga bermanfaat!!!
Di tulis oleh sumardi

my fan