Kamis, Februari 18, 2010

CINTA TAK PERNAH SALAH

“Love is infallible, it has no errors, for all the errors are the want of love. Cinta tidak pernah keliru, tidak pernah salah, karena semua kesalahan yang terjadi adalah karena menginginkan cinta.”
William Law
Awalnya, ketika seorang pria benar-benar jatuh cinta kepada seorang wanita, dunia terasa indah. Hidup jadi lebih bersemangat dan penuh arti. Apa saja tentang wanita tersebut pasti akan menarik perhatiannya. Setiap kali bertemu, hati bergetar dan jantung pun berdebar. Kemudian, ketika pria menyatakan cinta dan wanita menerima, mereka pun sepakat untuk pacaran. Masa pacaran adalah masa yang paling indah karena memberikan kesempatan untuk mengenal satu sama lain secara lebih mendalam.
Ketika pasangan akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengucapkan janji setia; dalam suka maupun duka, ketika sehat ataupun sakit, di saat senang ataupun susah—kata-kata tersebut pastilah keluar dari lubuk hati yang terdalam. Artinya, pasangan tersebut telah bersepakat untuk memulai hidup baru bersama dengan modal utama adalah cinta yang mereka miliki. Cinta yang dipercaya akan menjadi perekat hati mereka untuk selama-lamanya sampai maut datang memisahkan.
Akan tetapi, yang sering kita jumpai adalah cinta menjadi luntur hanya setelah beberapa tahun menikah. Bahkan, ada yang di saat pernikahan baru berjalan beberapa bulan atau bahkan ada yang dalam hitungan minggu saja. Mengapa ini bisa terjadi?
Kita semua tahu bahwa di saat pacaran, cinta itu selalu ada karena adanya rasa penasaran yang menyebabkan letupan-letupan kecil di dalam hati. Ketika akan bertemu, pria mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Apa yang akan saya katakan kepadanya jika dia keluar menyambut kedatangan saya?” Ketika pasangannya marah, pria selalu tertantang untuk memenangkan hatinya kembali. Segalanya terasa indah sampai ketika pasangan memasuki fase yang namanya ‘perkawinan’.
Setelah resmi menikah dan tinggal di bawah satu atap, di sinilah masalah berawal. Tanpa disadari, kita mulai terbelenggu dengan apa yang disebut ‘rutinitas’ dan ditambah lagi dengan kehadiran anak dalam keluarga. Wanita yang bekerja di luar rumah dan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang ibu pasti memiliki beban yang lebih berat dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.
Akibatnya, tanpa disadari, ketika anak dan pekerjaan menjadi prioritas utama, wanita hampir tidak mempunyai waktu luang untuk memadu kasih dengan pria yang menjadi pasangan hidupnya. Kasih itu bagaikan tanaman yang membutuhkan pupuk untuk menjadi besar dan subur. Pupuk yang utama dalam agar cinta dan kasih dapat tumbuh subur adalah ‘komunikasi’. Kurangnya komunikasi membuat bagi pasangan suami istri sulit untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain. Ketika ini terjadi, yang sering ada adalah wanita menjadi lebih sensitif, gampang marah, dan sering menyalahkan pria karena merasa tidak dimengerti dan diperhatikan. Pria yang juga merasakan bahwa dia pun memiliki kebutuhan emosional yang harus dipenuhi, biasanya lebih memilih diam dan menyimpannya di dalam hati daripada harus ribut.
“Apa boleh buat, inilah salah satu konsekuensi berumah tangga yang harus saya pikul,” begitulah biasanya yang ada di pikiran laki-laki.
“Saya tidak mungkin meninggalkan istri saya karena saya tidak mau kehilangan anak-anak.” Akhirnya, perlahan tapi pasti, hidup berkeluarga terasa monoton dan membosankan. Hubungan suami-istri menjadi hambar dan kering sehingga hidup serasa hanya untuk memenuhi sebuah kewajiban saja.
Hal ini terus berjalan sampai suatu hari, ketika pria tersebut jatuh cinta lagi kepada wanita lain... “I slept and dreamed that life was beauty, I woke and found that life was duty.— Saya tidur dan bermimpi bahwa hidup itu indah. Saya terjaga dan menemukan bahwa hidup itu adalah kewajiban.”~ Nono Sarwono, DTM Apa yang Membuat Pria Jatuh Cinta Lagi kepada Wanita Lain?
Ketika ditanya, apa yang biasanya membuat pria tertarik atau jatuh cinta lagi kepada wanita lain, beginilah kira-kira jawabannya:
“Saya suka senyumannya yang manis.”
“Saya merasa nyambung ketika berbicara dengannya.”
“Ketika bersamanya, saya menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam hidup saya selama ini.”
“Akhirnya, saya menemukan wanita yang saya idam-idamkan selama ini.”
“Dia begitu sempurna.”
“Dia sangat pintar.”
“Dia berasal dari keluarga terpandang.”
“Dia cantik luar dalam.”
“Dia sangat perhatian dan mau mengerti kekuranganku.”
“Saya tidak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta kepadanya.”
“Dia memiliki daya tarik seksual yang tinggi.”
“Dia membuat hidup saya menjadi berarti.”
Ini cerita tentang seorang pria asing yang berumur 32 tahun dan telah menikah selama 8 tahun. Istrinya memiliki kedudukan yang tinggi di perusahaan tempatnya bekerja dan sangat sibuk. Ketika WIL-nya (wanita idaman lain), seorang gadis berumur 20 tahun bertanya apakah dia masih mencintai istrinya, dia pun menjawab dengan singkat:
“I loved her with ‘d’ (dibaca di-pen).”
Maksudnya adalah, “Saya mencintainya, tapi sekarang tidak lagi (dalam Bahasa Inggris, untuk melukiskan kejadian yang sudah berlalu, banyak kata kerja diberi imbuhan d atau ed).
Pria tersebut sampai ingin mendapatkan pekerjaan di Jakarta agar dapat selalu dekat dengan WIL-nya. Dia ingin sekali menceraikan istrinya dan menikahi wanita idamannya. Walaupun wanita tersebut menikmati hubungannya dengan pria asing yang telah berkeluarga, tetapi dia tidak mau dinikahi karena tidak ingin menghancurkan kehidupan rumah tangga wanita lain. Mereka pun akhirnya berpisah dan hubungan tersebut meninggalkan banyak kenangan yang terindah.
Jadi, belajar dari kata-kata yang diucapkan pria ketika mereka jatuh cinta lagi, kita dapat menduga bahwa ada hal-hal yang dulu membuat dia jatuh cinta kepada istrinya, yang kini telah hilang. Hubungan yang dibiarkan apa adanya akhirnya akan mengikis rasa cinta yang dulunya ada. Dan, ketika cinta itu telah hilang, ia akan dengan mudah digantikan oleh cinta yang lain. Cinta memang tidak pernah keliru ataupun salah. Mungkin, yang salah adalah perasaan yang menginginkan rasa cinta itu

Selasa, Februari 16, 2010

HMI Basic Training, untuk apa..???

Ada banyak sekali pelatihan (training) yang kita kenal dan ditawarkan oleh berbagai lembaga, bahkan saat ini ada banyak lembaga yang sengaja didirikan untuk melakukan aktivitas melatih dan memberikan motivasi serta menggali motivasi personal untuk membuatnya lebih melejit serta membuatnya lebih baik lagi untuk masa yang akan datang.

Training adalah pasha awal untuk memasuki sebuah gerbang yang namanya pengembangan kapasitas personal dalam melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dari peserta training. Dalam banyak lembaga formal training dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang apa dan bagaimana sebuah organisasi seharusnya di jalankan, serta ke arah mana seharusnya organisasi tersebut di arahkan. Artinya dalam organisasi, moment basic training di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah pasha awal yang sekaligus merupakan prasyarat untuk menjadi anggota lembaga ini. Dalam basic training ini para calon anggota dipaparkan tentang sejarah pendirian, sejarah perjuangan, visi dan misi serta rencana atau cita-cita lembaga untuk jangka panjang.

Selanjutnya tahapan basic training ini juga merupakan pasha awal untuk membuka wawasan dan membantu tahapan mempertajam daya kritis berfikir personal. Dari proses ini diharapkan para peserta training akan lebih mengenal dirinya dan menggali kemampuan terbaiknya sehingga masing-masing peserta akan mampu mengaktualisasikan ke dalam aktivitas sehari-hari. Selain itu juga peserta diharapkan akan mampu bertahan dalam melakukan aktivitas terbaiknya dalam berbagai situasi dan iklim untuk generasi selanjutnya.
Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), basic training merupakan salah satu syarat penting yang harus di lalui oleh calon anggota agar menjadi anggota lembaga ini. Hal ini dilakukan karena masing-masing calon anggota terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda dan juga pengalaman yang berbeda-beda tentunya. Sehingga forum basic training menjadi tempat yang sangat efektif untuk memperkenalkan lembaga ini sedetail mungkin sehingga para anggota yang akan lulus nantinya benar-benar tahu apa dan kemana organisasi ini akan bergerak. Dalam pasha ini para calon anggota akan di beritahukan mission dari organisasi ini, dan dalam forum ini juga diberikan motivasi sehingga mereka akan terus berbuat untuk mewujudkan cita-cita Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridha Allah SWT. Para anggota HMI diharapkan terus menerus melakukan yang terbaik tanpa henti untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Sebagai calon anggota tentunya Anda akan bertanya, apa yang akan kita dapatkan di arena basic training tersebut? Bagaimana caranya supaya forum basic training tersebut bisa menjadi arena yang benar-benar bermanfaat bagi pribadi kita? Apakah training ini bisa membantu kita untuk bisa meraih prestasi akademik yang maksimal? Dan berbagai pertanyaan lainnya… tentunya hal ini wajar kita tanya, sehingga kita tahu betul apa yang akan kita lakukan, tidak sekedar ikut-ikutan atau karena pengen tahu saja.
Menurut pengalaman dan hemat Saya dalam berbagai forum training para peserta di arahkan untuk menggali potensi terbaik sehingga mereka menjadi manusia yang punya prestasi dan mampu menghadapi segala zaman. Untuk itu diperlukan personal yang tangguh, terutama sekali pemahaman tentang Dinul Islam yang harus menyeluruh dan mendalam sehingga tidak ada lagi virus TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat) dalam memahami agama Islam di masyarakat, terutama bagi para peserta basic training itu sendiri. Jadi jika Anda merasa ingin mendalami ilmu agama Islam... Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah tempat yang tepat!
Di arena basic training Anda juga akan mendapatkan banyak hal yang bisa membuat prestasi akademik Anda melejit ke arah kesempurnaan. Jadi bukan pilihan yang salah jika Anda memilih lembaga ini untuk mengembangkan kemampuan akademik Anda. Hanya saja yang perlu kita garis bawahi adalah ketika Anda tidak punya keinginan untuk berubah, menurut Saya sangat sulit untuk meraih sukses yang luar biasa. Dalam berbagai forum-forum HMI senantiasa menghargai pemikiran dari hasil pemikiran bersama tanpa mengabaikan buah pemikiran personal, Anda akan merasa merdeka sebagaimana kemerdekaan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita.
Dalam forum basic training Anda akan diajarkan bagaimana Anda mengenal diri Anda sendiri untuk lebih mengenal Tuhan dan bagaimana seharusnya Anda melaksanakan berbagai aktivitas sehingga menjadi ibadah, serta benar-benar menjadi manusia yang bermanfaat untuk kemajuan ummat dan bangsa. Ada sederetan tokoh bangsa yang telah di cetak oleh lembaga ini, mereka menjadi top leader di berbagai bidang yang mereka tekuni, baik sebagai eksekutif, ulama terkemuka, pemikir bangsa, para pakar, menjadi akademisi, politisi, anggota legislatif, TNI/POLRI, pegawai negeri sipil dan sebagainya. Mereka menjadi bukti sejarah bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan lembaga yang bisa membuat mereka sukses luar biasa. Karena ke dalam diri mereka HMI mengukir kata yang menjadi motivasi yang telah membuktikan mereka menjadi orang-orang terbaik dunia saat ini. Di HMI Anda tidak akan mengenal kata gagal, karena HMI senantiasa mengatakan YAKIN USAHA SAMPAI!!!
Karenanya jika Anda ingin menjadi diri sendiri yang senantiasa siap dengan segala keadaan untuk masa yang akan datang, silakan Anda bergabung dengan lembaga perkaderan tingkat mahasiswa tertua di Indonesia ini. Pergunakan waktu Anda semaksimal mungkin, insya Allah apa yang Anda cita-citakan akan terwujud dengan sempurna, tentunya dalam jalan dan rel-rel yang Islami.
ARAH PERKADERAN
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh aktivitasnya harus dapat memberi kesempatan berkembang bagi kualitas-kualitas pribadi anggota-anggotanya. Anggota HMI yang merupakan “human material” yang dihadapi HMI untuk dibina dan dikembangkan menjadi kader HMI adalah mereka yang memiliki kualitas-kualitas :
a) Mahasiswa;
Yaitu mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana dan potensial menjadi intelegensia.
b) Kader;
Yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih dan mengembangkan kualitas-kualitas pribadinya guna menyongsong tugas depan ummat dan bangsa Indonesia.
c) Pejuang;
Yaitu mereka yang ikhlas, bersedia berbuat dan berkorban guna mencapai cita-cita umat Islam dan bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Artinya kegiatan HMI adalah merupakan “pendidikan kader” dengan sasaran anggota-anggota HMI dalam hal :
a) Watak dan Kepribadiannya
Yaitu dengan memberi kesadaran beragama, akhlaq dan watak. Itu berarti harus menjelma seorang individu yang beriman, berakhlaq luhur memiliki watak yang autentik serta memiliki pengabdian dalam arti yang paling hakiki.
b) Kemampuan Ilmiah
Yaitu dengan membina seseorang hingga memiliki pengetahuan (knowledge) serta kecerdasan (intellectuality) dan kebijaksanaan (wisdom).
c) Keterampilan
Yakni keterampilan menterjemahkan ide dan pikiran dalam praktik. Dengan terbinanya tiga sasaran tersebut maka terbinalah insan cita HMI yang beriman, berilmu dan beramal saleh.
Tujuan HMI telah memberikan gambaran tentang insan cita HMI. Berdasarkan landasan-landasan, arah dan tujuan perkaderan HMI, maka akhir kegiatan perkaderan diarahkan dalam rangka membentuk profil leader yang ideal, yaitu muslim intelektual professional.
Secara spesifik wujud profil kader HMI adalah sebagaimana tergambar dalam 5 kualitas insan cita HMI. Lima kualitas insan cita tersebut seperti diterangkan dalam tafsir tujuan HMI.
Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan sebagaimana tergambar dalam 5 kualitas insan cita HMI;
1) Kualitas Insan Akademis
2) Kualitas Insan Pencipta
3) Kualitas Insan Pengabdi
4) Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam
5) Kualitas Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala.
Nah lho!.. tunggu apa lagi, gak bakalan ada yang bisa membuat Anda sukses selain dari keinginan Anda sendiri untuk sukses. Akhirul kalam Saya ingin mengatakan kepada kita semua “Perjalanan seribu kilo meter itu ditentukan oleh keputusan Anda untuk menentukan langkah untuk yang pertama kalinya”. Be confident, be cool and be successfully because success is Our right!
Sampai ketemu di arena basic training, buktikan apa yang Saya sampaikan ini di sana…
YAKIN USAHA SAMPAI!!!
Billahi Taufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.

pelantikan HMI Cabang Tapak Tuan

Sumardi Evulae (sekum Badko)
sedang mengambil supah pengurus
HMI Cabang Tapak Tuan periode 2009-2010
Sambutan BADKO HMI Aceh
Pelantikan dan Pengabilan Sumpah Jabatan HMI Cabang Tapak Tuan
dari kiri ke kanan;
Taslim, Mawardi, Husien yusuf (bupati),
Sumardi Evulae (sekum BADKO HMI Aceh) & Alumni HMI
Serah terima Jabatan Dari Ketua Umum HMI Cabang Tapak tuan demisioner
Saudara Mawardi kepada Saudara taslim (ketua umum) definitif
disaksikan oleh Sumardi (sekum BADKO), Bupati Aceh Selatan dan KAHMI tapak Tuan

Senin, Februari 08, 2010

ETIKA BER-POLITIK.. Perlukah...????

“the struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” (perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa)
Mirek
Senada dengan kalimat di atas filsuf Paul Ricouer menegaskan pentingnya kesadaran untuk memelihara akal sehat. Kesadaran yang merangkum pengalaman-pengalaman masa lalu serta kesadaran atas pentingnya ingatan agar masa depan bisa dihubungkan dengan masa lalu. Kata Ricouer, dosa yang paling berat bagi peradaban manusia adalah lupa. Dan bukankah Al-Qur’an juga mengatakan: 1) “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”, serta 2) “Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia”. Termasuk bagi kita, sekarang dan di sini. Mengapa bagi kita lupa merupakan ancaman yang serius? Salah satunya karena pemerintahan Orde Baru (Orba) telah meninggalkan banyak catatan dan pelajaran untuk di ingat, direnungkan dan dievaluasi. Tiga puluh tahun Orba adalah narasi tentang otoritarian, penindasan, kekejaman, keserakahan, dan ingkar amanah. Menjalani orde reformasi dengan amnesia politik akan membuat kita tetap terpuruk karena mengulang kekeliruan fatal di masa lalu. Contoh amnesia ini adalah kerinduan pada Orba. Lupa bisa direncanakan dan diprogram. Proyek lupa ini bisa dilakukan dengan program mengingat yang lain (sehingga perhatian akan sebuah isu penting bergeser), black out (tidak di munculkan) ataupun manipulasi sejarah (misal tentang Sukarno, Supersemar, Gerwani, G30S atau Timor Timur pada masa Orba). Belakangan ini, ancaman yang mendukung lupa adalah munculnya gejala shortermism, yakni berpikir jangka pendek yang maunya serba cepat (speed). Politik Uang Pada masa reformasi ini terlihat sejumlah kemajuan dalam sistem politik. Di antaranya adalah sistem pemilihan umum (pemilu) dan sistem kepartaian. Jika pada masa Orba, pemilu legislatif dilakukan oleh lembaga pemilihan umum (pemerintah), kini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independent. Jika sebelumnya presiden dipilih oleh legislatif, kini oleh rakyat. Jika sebelumnya Kepala Daerah di tunjuk – kemudian dipilih oleh DPRD (UU No 22/1999) – kini oleh Rakyat (UU No 32/2004). Tentu tanpa melupakan sejarah bahwa pada tahun 1955 kita pernah menyelenggarakan pemilu yang paling demokratis. Demikian juga partai politik (parpol). Jika pada masa Orba yang terjadi adalah pembatasan tiga parpol yang tidak kompetitif (hegemonic party system), maka pada tahun 1999 ada 48 parpol peserta pemilu, kemudian 24 parpol pada peserta pemilu pada tahun 2004 yang kompetitif. Tentu juga perlu di ingat, lahirnya 36 setelah Maklumat Pemerintah, 3/11/1945. Maka semenjak lengsernya Suharto (1998), sistem politik Indonesia semakin demokratis, yakni melibatkan lebih banyak rakyat dalam berpolitik, setidaknya dalam proses pembentukan sebuah pemerintah perwakilan (representative government). Meski demikian fungsi pemilu sebagai pendidikan politik dan legitimasi politik masih terganggu oleh praktik-praktik yang destruktif. Salah satunya adalah politik uang (money politik). Pada pemilu 2004, pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan Jaringan LSM di delapan kota besar mencatat sedikitnya ada 114 kasus politik uang. Hampir sama dengan pemilu 1999, mayoritas modus politik uang di lakukan dalam bentuk pembagian uang secara langsung pada masa kampanye, rapat akbar atau deklarasi partai politik (50,87%), kegiatan sosial dan pembagian sembako (18,24%), pembangunan infrastruktur (7,89%), kegiatan keagamaan (7,01%), pemberian hadiah (7,89%), dan lain-lain (7,93%). Demikian juga pada pemilihan presiden dan wapres pada pilpres 2004, menurut pantauan ICW dan TII, hampir semua pasangan capres diindikasikan melakukan politik uang. Modus politik uang tersebut antara lain pembagian uang untuk menghadiri kampanye, pembagian door prize, pemberian beasiswa, sumbangan rumah ibadah, asrama yatim piatu, madrasah dan pesantren, pelayanan secara gratis, sumbangan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan rumah untuk penduduk, dan sumbangan untuk pembangunan daerah wisata. Bagaimana dengan pemilihan kepala daerah (pilkada)? Sepanjang pilkada Juni 2005 hingga mei 2006, menurut pantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), penyelenggaraannya diwarnai dengan banyak terjadi intimidasi dan politik uang. JPPR mencatat bahwa politik uang paling banyak terjadi dalam pilkada gubernur (96,1%). Sedangkan dalam pilkada bupati/walikota, praktik politik uang terjadi di 90,4% kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Modusnya dalam bentuk pemberian uang tunai, pemberian barang atau souvenir, pembagian sembako, pemberian kupon, dan lain-lain. Tentu bisa di duga jumlah dan nilai praktik uang sebenarnya dalam semua pemilu tersebut jauh lebih besar daripada yang terpantau. Pertanyaan yang sering mengganggu adalah jika politik uang dilakukan oleh banyak pihak di berbagai wilayah pemilihan, apakah ini berarti praktik tersebut merupakan tradisi politik, dan karenanya menjadi lumrah yang mesti diterima? Jika demikian apa artinya ketetapan hukum yang melarang politik uang? Calon Anggota DPR/DPRD/DPD dikenai sanksi pembatalan pencalonan (UU no 12/2003 pasal 77). Calon presiden dan wakil presiden di ancam pidana penjara 2-12 bulan (UU No 23/2003 pasal 90). Demikian juga calon kepala daerah dan wakilnya di ancam pembatalan pencalonan (UU No 32/2004 pasal 82). Hukum memang tidak mengenal istilah politik uang, yang ada ialah korupsi. Jadi dalam terminologi hukum politik uang adalah korupsi. Maka pertanyaan selanjutnya, apakah kenyataannya praktik korupsi memang diterima? Kenapa kesannya kok tangan satu menolak, tangan lainnya menerima bahkan mengambil? Penjelasan Ignas Kleden tentang budaya korupsi mungkin bisa membantu. Menurut Ignas, kebudayaan sedikitnya memperlihatkan tiga tahapan perkembangan arti. Pertama, dalam keadaan normal korupsi dianggap bertentangan dengan kebudayaan (yaitu norma etik yang diberikan dalam suatu kebudayaan), dalam artian Sollen (apa yang masih harus ada). Kedua, korupsi yang tadinya bertentangan dengan Sollen dari suatu kebudayaan kemudian menjadi bagian dari kebudayaan tersebut karena dipraktikkan secara terus menerus oleh banyak orang. Di sini kebudayaan bergeser ke keadaan suatu Sein (apa yang ada). Ketiga, korupsi yang dipraktikkan terus menerus akhirnya terlihat sebagai suatu “nilai” yang harus diperjuangkan untuk di wujudkan. Tanpa mempraktikkannya maka survival dalam suatu lingkungan tertentu mungkin akan menjadi sulit. Di sini korupsi menjadi kebudayaan dalam artian Sollen kembali, tetapi dengan pergeseran arti yang luar biasa, di mana suatu arti nilai menjadi nilai. Bertolak dari penjelasan Ignas ini, kita memahami bahwa kebudayaan adalah kata kerja, bukan kata benda. Korupsi yang secara verbal kita tolak ternyata di bangun secara sistemik selama puluhan tahun pada masa Orba. Sistem politik sentralistik pada waktu itu memungkinkan korupsi membudaya secara nasional. Politik uang adalah salah satu keturunan dari budaya korupsi, bukan semata aksi orang per orang. Maka ancaman utama kita sekarang masih budaya korupsi yang menggurita. Parpol : Demi Siapa? Dalam pemilihan presiden maupun kepala daerah tidak dikenal calon independen, (kecuali dalam pilkada Aceh 2006). Semua calon harus melalui parpol. Maka otoritas pengajuan calon ada di parpol, baik pilpres (UU No 23/2003 pasal 5) maupun pilkada (UU No 32/2004 pasal 56). Yang menarik, dalam pemilihan calon yang didukung, terjadi pencairan ideologi dan aliran, baik terhadap sosok kandidat maupun sosok parpol-parpol dalam gabungan parpol. Yang memprihatinkan, fenomena penetapan kandidat di ukur dari jumlah pemberian dan kepada parpol yang mendukungnya. Syarat upeti ini juga berlaku bagi calon legislatif (caleg). Praktik inilah yang mesti kita kritisi dengan tajam. Rasionalisasi tetap ada. Seorang politisi berdalih, bagi si kandidat pemberian dana tersebut merupakan biaya politik, seperti halnya membeli bensin untuk kendaraan (politiknya) dalam perjalanan. Atau istilah seorang pengamat, “biaya sewa perahu”. Rasionya menjadi dagang sapi. Seorang politisi gaek menggambarkan sebagai berikut, “Orang yang punya posisi berusaha jadi ‘kapal keruk’, sedangkan yang tidak punya posisi tapi punya materi, banyak yang beli posisi.” Menurut politisi kawakan itu, jumlah upeti untuk caleg DPRD kabupaten/kota sedikitnya puluhan juta rupiah, DPRD Provinsi sekitar puluhan sampai ratusan juta rupiah, dan DPR bisa sampai ratusan juta rupiah. Menurutnya, ini bukan lagi degradasi politik, tapi dekadensi, pembusukan. Repotnya, UU tidak mengatur hal ini meski praktik tersebut sebenarnya termasuk politik uang. Jadi praktik ini tidak melanggar hukum meski tetap melanggar etika politik. Mengapa praktik semacam ini memprihatinkan? Pertama, calon yang dipilih parpol belum tentu tokoh terbaik yang dibutuhkan rakyat. Bahkan tokoh ideal jadi terjegal. Contoh dalam pilpres adalah mundurnya Nurcholish Madjid (alm) sebagai bakal calon presiden karena masalah ‘gizi’. Kedua, pemilu menjadi transaksi bisnis yang mengandalkan uang. Ketiga, jika terpilih, otoritas yang dimilikinya dijadikan ‘mesin uang’. Seperti pernah di ingatkan J Kristiadi, dana calon ke parpol pada pilkada adalah titik awal korupsi. Praktik politik uang dalam pilkada, menurut Gregorius Sahdan, terjadi melalui parpol, KPUD dan massa. Dalam kompetisi di tingkat internal parpol, para kandidat memberikan sokongan dana yang dibutuhkan oleh anggota parpol. Menurut Sahdan, praktis yang memenangkan kompetisi di tingkat internal parpol adalah yang memiliki uang paling banyak. Mengapa praktik upeti ini terjadi? Jawaban mudahnya, ada kecocokan antara permintaan dan penawaran. Tapi mungkin, seperti di katakan T Mulya Lubis, salah satu masalah utama parpol di negeri ini adalah belum adanya kemandirian logistik dan finansial. Kebutuhan finansial diperoleh parpol melalui otoritasnya dalam penyaringan pencalonan (presiden, legislatif, kepala daerah) maupun melalui kekuasaan, dari jabatan-jabatan strategis yang diperoleh anggota maupun kandidat yang didukungnya. Masalah lain adalah parpol tidak melakukan kaderisasi politik dengan baik. Maka parpol merekrut orang-orang di luar partai, terutama saat pilpres dan pilkada. Hasil penelitian Reform Institut (2005) menyatakan bahwa secara umum pilkada dikuasai oleh lima kelompok elite, yakni para pejabat eksekutif jajaran birokrasi lokal, para politisi partai yang menguasai parlemen daerah, para tokoh elite partai, ormas keagamaan yang berpengaruh dominan, serta para pengusaha besar yang menguasai elite ekonomi politik tingkat pusat yang mempunyai hubungan dengan daerah penyelenggara pilkada. Sebuah catatan penting untuk pilkada adalah seharusnya calon independent dibolehkan jadi peserta. Dengan demikian, tokoh yang idealis dan karenanya tidak berkelimpahan dana bisa berkopetisi tanpa terlebih dahulu dijegala oleh oligarkhi parpol. Ironis bahwa parpol sangat potensial menghalangi tampilnya putra bangsa maupun putra daerah yang terbaik. Calon independent juga bisa menghindari barter politik dengan parpol. Sistem politik kita, membolehkan keikutsertaan calon independent, yakni pada pemilu legislatif tahun 1955. Syaratnya waktu itu, caleg mendapat pendukung dari sepuluh orang pemilih dari suatu daerah pemilihan. Dengan adanya calon independent, masyarakat mempunyai pemilihan lebih banyak. Bukankah demokrasi (Yunani, demos = Rakyat, kratos = kekuasaan) pada hakekatnya adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat? Disisi lain diperbolehkannya calon independent jelas mengurangi pengaruh dan otoritas parpol. Lagi pula parpol mungkin tidak suka karena tampilnya calon independent menambah jumlah kompetitor. Parpol, berbeda dengan ormas, lahir untuk meraih kekuasaan. Pertanyaannya, Apakah parpol – sesuai dengan fungsinya – telah melakukan rekruitmen politik yang mengutamakan kualitas dan integritas kader? Apakah parpol telah melakukan pendidikan politik yang mencerdaskan, bukan indoktrinasi demi loyalitas? Apakah parpol telah menjadikan dirinya sebagai sarana partisipasi warga secara demokratis dan egaliter? Dan pertanyaan mendasar – seperti pernah dilakukan Muhammad Hatta saat kisruh DPR dan Dewan Konstituante – Apakah parpol sudah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri? Tujuan umum parpol, berdasarkan pasal 6 UU/2002 tentang partai politik, adalah: 1) Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana di maksud dalam pembukaan UUD 1945, 2) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan 3) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika parpol menggeser paradikmanya dari semata kekuasaan ke kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat maka yang dipentingkan adalah hadirnya kandidat terbaik, entah melalui partai atau independent. Terbaik berarti memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Pentingnya Etika Politik
Demokrasi memungkinkan dan memerlukan partisipasi rakyat sebesar-besarnya. Masalahnya, orang kerap mengatakan bahwa politik itu kotor sehingga harus dihindari. Tapi sebagai warga negara sebenarnya kita tak bisa lepas dari politik. Secara etimologis, istilah ‘politik’ berasal dari bahasa Yunani, politikos, yang berarti ‘bersangkut paut dengan warga negara’ (polites), yakni anggota suatu kota atau negara (polis)’. Politea berarti kewarganegaraan, hak-hak warga negara. Lima tahun sekali ada pemilu langsung (legislatif, presiden, kepala daerah). Golputpun sikap politik karena kita memilih untuk tidak memilih. Contoh lainnya, kita wajib mematuhi kebijakan publik. Malah saat masih berbicara, melobi, menekan untuk menggolkan atau menolak RUU tersebut. Kita bias terlibat dalam aktivitas yang berefek (political efficacy). Politik menjadi kotor jika para pemainnya bersikap pragmatis sebagai filsafat politik, yang membahas segi-segi normatif dan etis dari masalah-masalah politik, termasuk pemikiran politik dan ideologi yang mempengaruhi kehidupan politik filsafat politik? Apakah tempatnya bukan di awang-awang? Tidak, lantaran filsafat politik terus menerus dicoba diterjemahkan dalam sistem yang operasional. Pada 1789, misalnya, JJ Rousseau mencetuskan ‘kemerdekaan, persamaan, persaudaraan’ yang menjadi dasar pengembangan demokrasi. Menarik untuk kita simak apa yang ditulis ilmuan politik David E Apter bahwa filsafat politik pernah ditolak secara besar-besaran pada masa tahun 1950-an karena dianggap terlalu banyak berasumsi, dangkal, dan metafisik. Tulis Apter, “Namun dengan mengabaikan filsafat politik, ilmu politik mengecilkan dirinya sendiri. Maka, kebangkitannya menghidupkan kembali semua pendekatan kita. Kita tidak hanya menyaksikan sumbangan tradisi-tradisi klasik, pencerahan, dan radikal dengan relevansi yang segar. Melainkan juga melihatnya sebagai penangkal terhadap profesionalisme sempit dalam bidang ini dan orientasi kaum politisi yang pragmatis.” Haryatmoko juga memberikan ilustrasi menarik. Menurutnya, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau-tidak ma harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Jadi dalam perkembangan sekarang, filsafat politik atau etika politik justru semakin penting dan relevan. Tulisan ini hanya salah satu dari sekian banyak tulisan lainnya yang mengajak kita semua untuk senantiasa menjaga etika dan moral dalam melakukan politik, terutama kepada para politisi di negeri ini. Ini bukanlah mimpi di siang bolong , tetapi justru gelitikan untuk membangunkan orang yang terlelap tidur di siang bolong. Dan bagi Indonesia yang baru keluar dari otoritarian dan mencoba membangun demokrasi, kehadiran etika politik sangat mutlak sebagai rambu-rambu. Usia sistem demokrasi sudah lebih dari 200 tahun tapi di Indonesia baru sebatas urusan sembako, sindir seorang pengamat. Maksudnya, bagi sebagian rakyat yang penting adalah tercukupinya sembako, bukan soal penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Padahal kesejahteraan terkait erat dengan penegakan hukum dan HAM. Menurut Paul Ricoeur, tujuan etika politik adalah 1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, 2) upaya memperluas lingkup kebebasan, dan 3) membangun institusi-institusi yang adil. Jadi poinnya adalah kebersamaan, kebebasan dan keadilan. Mazhab Mu’tazila malah menempatkan keadilan sebagai asas etika. Dalam hal ini Saya memaparkan etika politik, banyak mengacu pada konsep dan terminologi Islam. Hal ini karena Saya yakin dan percaya kalau Islam mengatur segala tata kehidupan umat, serta Aceh sering diidentikan dengan agama Islam. Islam karenanya, terlebih dahulu perlu dilihat sebagai subtansi, bukan fiqih, skriptualisme dan formalisme. Cendikiawan muslim India Ashgar Ali Engineer menekankan pentingnya pernyataan normatif ajaran Islam yang merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an, seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini, menurut Ashgar, bersifat eksternal dan dapat di aplikasikan dalam pelbagai konteks ruang dan waktu. Yang penting digaris bawahi dalam etika Islam ini adalah akhlaq. Jalaluddin Rahmat menegaskan bahwa Islam mendahulukan akhlaq di atas fiqih. Nabi Muhammad pun menegaskan bahwa ia datang untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq. Beliau juga bersabda, “” Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaqnya yang baik walau ia lemah dalam ibadat”. Dalam corruption Perception Index (CPI) 2004, negara yang paling sedikit korupsinya adalah Finlandia (9,7), New Zealand (9,6), Denmark dan Islandia (skornya sama, 9,5). Tahun berikutnya, 2005, mereka sekedar bertukar tempat, yakni Islandia (9,7), Finlandia dan New Zealand (skornya sama, 9,6) dan Denmark (9,5). Negara-negara ini bukanlah berpenduduk mayoritas muslim. Renungkan juga ucapan cendikiawan Mesir Muhammad Abduh setelah kunjungannya ke Eropa, “Saya menemukan ‘Islam’ di Barat tanpa kaum muslim. Sebaliknya, Saya menemukan kaum muslim di Timur tanpa ‘Islam’”. Agar menjadi agama yang ‘hidup’, nilai-nilai substantif Islam perlu terus diterjemahkan sebagai kebudayaan. Nilai-nilai itu antara lain keadilan, kemaslahatan, pembebasan, kemerdekaan, persaudaraan, kesetaraan, perdamaian dan kasih sayang. Nurcholish Madjid tak bosan-bosannya mengingatkan, peran agama dalam politik ada pada level moralitas, bukan politik. Seperti di kisahkan Annemarie Schimmel, suatu saat Nabi Muhammad ditanya, “Apakah Islam yang paling baik itu?” Nabi menjawab, “Islam yang paling baik adalah jika kamu memberi makan orang yang lapar dan menyebarkan kedamaian di tengah-tengah orang-orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”. Melihat banyaknya perilaku elite yang menjadikan politik dalam perspektif dagang, wajar jika kita disergap rasa khawatir. Politik menjadi ajang bisnis, dan demokrasi menjadi – ibaratnya – ‘pasar bebas’. Di pasar ini, orang bisa membeli dukungan (vote buying) dengan penjual dengan harga beragam. Rezim Orba juga menempatkan politik sebagai transaksi bisnis tapi melalui – ibaratnya – ‘monopoli pasar’ dimana rakyat tidak punya banyak pilihan. Kita khawatir bahwa politik bukan lagi upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Untuk itu kita memerlukan ‘politisi organik’ yang sadar lingkungan (alam, masyarakat, sosial, budaya, politik) karena ia merupakan salah satu organ lingkungannya. Organ merupakan bagian dari keseluruhan yang mempunyai fungsi khusus. Apa fungsi politik organik? Menurut hemat Saya, fungsinya mendatangkan kemaslahatan dan berdaya cipta (produktif).
Salam perubahan…
penulis merupakan Sekretaris Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI ) Aceh. penulis bisa dihubungi di ardi.ev83@gmail.com atau sumardi651@rocketmail.com

pelantikan HMI Cabang Tapak Tuan

Pengambilan sumpah pengurus HMI Cabang Tapak Tuan Aceh Selatan. periode 2009-2010 di aula infokom Tapak Tuan. OLeh Sumardi evulae Sekretaris Umum Badan Koordinasi HMI Aceh

my fan