Rabu, Juli 23, 2008

TULISAN DI ATAS PASIR

Oleh: Sumardi Evulae
Kepala BPL HMI Kota Jantho
“Lupakan kebaikan yang pernah kamu lakukan pada teman-temanmu, dan ingat selalu kebaikan mereka”
Di pesisir sebuah pantai, tampak dua anak sedang berlari-larian, bercanda, dan bermain dengan riang gembira. Tiba-tiba, terdengar pertengkaran sengit di antara mereka. Salah seorang anak yang bertubuh lebih besar memukul temannya sehingga wajahnya menjadi biru lebam. Anak yang dipukul seketika diam terpaku. Lalu, dengan mata berkaca-kaca dan raut muka marah menahan sakit, tanpa berbicara sepatah kata pun, dia menulis dengan sebatang tongkat di atas pasir: "Hari ini temanku telah memukul aku !!!"
Teman yang lebih besar merasa tidak enak, tersipu malu tetapi tidak pula berkata apa-apa. Setelah berdiam-diam-an beberapa saat, ya ... dasar anak-anak, mereka segera kembali bermain bersama. Saat lari berkejaran, karena tidak berhati-hati, tiba-tiba anak yang dipukul tadi terjerumus ke dalam lubang perangkap yang dipakai menangkap binatang. "Aduh.... Tolong....Tolong!" ia berteriak kaget minta tolong. Temannya segera menengok ke dalam lubang dan berseru, "Teman, apakah Engkau terluka? Jangan takut, tunggu sebentar, aku akan segera mencari tali untuk menolongmu." Bergegas anak itu berlari mencari tali. Saat dia kembali, dia berteriak lagi menenangkan sambil mengikatkan tali ke sebatang pohon. "Teman, aku sudah datang! Talinya akan ku ikat ke pohon, sisanya akan ku lemparkan ke kamu. Tangkap dan ikatkan dipanggang mu, pegang erat-erat, aku akan menarik mu keluar dari lubang."
Dengan susah payah, akhirnya teman kecil itu pun berhasil dikeluarkan dari lubang dengan selamat. Sekali lagi, dengan mata berkaca-kaca, dia berkata, "Terima kasih, sobat!" Kemudian, dia bergegas berlari mencari sebuah batu karang dan berusaha menulis di atas batu itu, "Hari ini, temanku telah menyelamatkan aku."
Temannya yang diam-diam mengikuti dari belakang bertanya keheranan, "Mengapa setelah aku memukul mu, kamu menulis di atas pasir dan setelah aku menyelamatkan mu, kamu menulis di atas batu?" Anak yang di pukul itu menjawab sabar, "Setelah kamu memukul, aku menulis di atas pasir karena kemarahan dan kebencian ku terhadap perbuatan buruk yang kamu perbuat, ingin segera aku hapus, seperti tulisan di atas pasir yang akan segera terhapus bersama tiupan angin dan sapuan ombak.”
”Tapi, ketika kamu menyelamatkan aku, aku menulis di atas batu, karena perbuatan baikmu itu pantas dikenang dan akan terpatri selamanya di dalam hatiku, sekali lagi, terima kasih sobat."
Pembaca yang Saya hormati
”Hidup dengan memikul beban kebencian, kemarahan dan dendam, sungguh melelahkan. Apalagi bila orang yang kita benci itu tidak sengaja melakukan bahkan mungkin tidak pernah tahu bahwa dia telah menyakiti hati kita, sungguh ketidakbahagiaan yang sia-sia.
Memang benar.... bila setiap kesalahan orang kepada kita, kita tuliskan di atas pasir, bahkan di udara, segera berlalu bersama tiupan angin, sehingga kita tidak perlu kehilangan setiap kesempatan untuk berbahagia.
Sebaliknya... tidak melupakan orang yang pernah menolong kita, seperti tulisan yang terukir di batu karang. Yang tidak akan pernah hilang untuk kita kenang selamanya.”
Ku tulis dengan cahaya cinta dan kasih tulus mengharap ridha Allah, Semoga tulisan yang sangat sederhana ini bermanfaat buat siapa saja Kritikan dan saran senantiasa Saya harapkan Kirim ke: ardi.ev83@gmail.com atau 08126916362 By Sumardi Evulae bin Azhar Amin

Selasa, Juli 22, 2008

PROFIL SEORANG KADER HMI

Oleh: Sumardi Evulae*
Kepala BPL HMI Kota Jantho
Dalam tubuh organisasi kader memiliki fungsi tersendiri yaitu sebagi tenaga penggerak organisasi, sebagai calon pemimpin dan sebagai benteng organisasi. Secara kualitatif seorang kader mempunyai kesanggupan bekerja dan berkorban yang lebih besar dari anggota biasa. Kader itu adalah anggota inti, kader merupakan benteng dari “serangan” dari luar serta penyelewengan dari dalam. Secara internal kader merupakan Pembina yang tidak berfungsi pimpinan. Kader adalah tenaga penggerak organisasi yang memahami sepenuhnya dasar dan idiologi perjuangan, ia mampu melaksanakan program perjuangan secara konsekwen di setiap waktu, situasi dan tempat.
Terbina oleh fungsinya itu, untuk menjadi kader yang berkualitas anggota harus menjalani pendidikan latihan dan praktikum baik di HMI maupun di luar HMI.
Dari definisi di atas setidaknya terdapat tiga ciri yang terintegrasi dalam diri seorang kader.
Pertama : Seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi. Kader mengenal aturan permainan organisasi sesuai dengan peraturan yang ada seperti Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Dari segi oprasionalisasi organisasi, kader selalu berpegang teguh dan mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI, pedoman perkaderan dan aturan lainnya.
Kedua : Seorang kader mempunyai komitmen yang tinggi secara terus menerus, konsisten dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran.
Ketiga : Seorang kader memiliki bakat dan kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga kesatuan kumpulan manusia yang lebih besar. Jadi, focus seorang kader terletak pada kualitas.
Kader HMI adalah anggota HMI yang telah menjalani proses perkaderan sehingga mempunyai ciri kader, yang integritas kepribadian yang utuh, beriman, berilmu, dan beramal saleh. Sehingga siap mengemban tugas dan amanah dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
ARAH PERKADERAN
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh aktivitasnya harus dapat memberi kesempatan berkembang bagi kualitas-kualitas pribadi anggota-anggotanya. Anggota HMI yang meruapakan “human material” yang dihadapi HMI untuk dibina dan dikembangkan menjadi kader HMI adalah mereka yang memiliki kualitas-kualitas :
Mahasiswa; Yaitu mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana dan potensial menjadi intelegensia.
Kader; Yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih dan mengembangkan kualitas-kualitas pribadinya guna menyongsong tugas depan ummat dan bangsa Indonesia.
Pejuang; Yaitu mereka yang ikhlas, bersedia berbuat dan berkorban guna mencapai cita-cita umat islam dan bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Artinya kegiatan HMI adalah merupakan “pendidikan kader” dengan sasaran angota-anggota HMI dalam hal :
Watak dan Kepribadiannya Yaitu dengan memberi kesadaran beragama, akhlak dan watak. Itu berarti harus menjelma seorang individu yang beriman, berakhlak luhur memiliki watak yang autentik serta memiliki pengabdian dalam arti yang paling hakiki.
Kemampuan Ilmiah Yaitu dengan membina seseorang hingga memiliki pengetahuan (knowledge) serta kecerdasan (intellectuality) dan kebijaksanaan (wisdom).
Keterampilan Yakni keterampilan menterjemahkan ide dan pikiran dalam praktek. Dengan terbinanya tiga sasaran tersebut maka terbinalah insan cita HMI yang beriman, berilmu dan beramal saleh. Tujuan HMI telah memberikan gambaran tentang insan cita HMI. Berdasarkan landasan-landasan, arah dan tujuan perkaderan HMI, maka akhir kegiatan perkaderan diarahkan dalam rangka membentuk profil leader yang ideal, yaitu muslim intelektual professional.
Secara spesifik wujud profil kader HMI adalah sebagaimana tergambar dalam 5 kualitas insan cita HMI. Lima kualitas insan cita tersebut seperti diterangkan dalam tafsir tujuan HMI. Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI didalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan sebagaimana tergambar dalam 5 kalitas insan cita HMI; Kualitas Insan Akademis Kualitas Insan Pencipta Kualitas Insan Pengabdi Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam Kualitas Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala.
Lima kualtas insan cita HMI sebagai kelompok intelegensia atau intelektual kader HMI, dapat digambarkan dengan ; Tipe Konseptor Tipe Solidarity Maker Tipe Problem Solving Tipe Administrator atau pelaksana, dan Tipe Negarawan
* penulis dapat di hubungi di sumardihmi@yahoo.com atau ardi.ev83@gmail.com

PESTA DEMOKRASI 2009

Oleh: Sumardi Evulae
Mungkinkah Pemimpin Bangsa Yang Berkualitas Akan Lahir...?
Mari kita memilih pemimpin yang berkualitas
“Tuhan memberikan kita dua mata, dua telinga dan satu mulut yang artinya kita harus lebih banyak mendengar dan melihat daripada berbicara”
“Ketika Pemimpin Menjadi Angkuh, Melawan Adalah Hak”
Momen Pemilahan Umum yang sebentar lagi akan di gelar adalah ajang yang sangat menentukan bagaimana kondisi politik di negeri ini pada masa yang akan datang. Jadi para peserta yang ikut bertarung dalam mimbar PEMILU jangan terjebak dengan hal-hal yang bersifat kontemporer (politik instant) sebab fondasi politik yang seperti itu tidaklah bertahan lama dan mudah di otak-atik oleh pihak yang berkepentingan tertentu terhadap rakyat. Disinilah perlu penelaahan mendalam dan penempatan grand strategy yang tepat, cermat dan penuh hati-hati agar tidak salah dalam meletakkan dasar semangat yang dibangun sebab kalau salah dalam menempatkan fondasi tentunya melahirkan bangunan politik yang rapuh pula.
Melihat dari gerakan yang dilakukan oleh beberapa kandidat President, menarik perhatian Saya untuk menelusuri lebih jauh tentang beberapa resep yang ditawarkan oleh Bapak-Bapak calon Leader kita itu. Sampai saat ini hampir bisa katakan bahwa konsep-konsep yang diajukan itu belum bisa menjawab atas urgencytas kebutuhan rakyat Indonesia masa kini. Persoalannya adalah di mana para kandidat President yang tampil belum melihat dengan jelas apa dan betapa besarnya masalah yang rakyat Indonesia hadapi saat ini, merumuskan kebutuhan pokok rakyat menjadi sebuah visi-misi bersama seyogyanya merupakan keharusan dimiliki setiap kandidat. Intinya bahwa isu-isu yang dimainkan Bapak-Bapak kandidat harus mengacu pada pemecahan atas berbagai persoalan yang selama ini belum juga menemukan solusinya, bukan sebaliknya meninggalkan atau menambah persoalan negeri ini, mengangkat isu-isu yang sama sekali tidak menjawab sasaran dan entri poin yang diinginkan oleh rakyat Indonesia.
Sangat menarik memang, Pemilu merupakan ajang perhelatan paling spektakuler dilakukan setiap lima tahun sekali, di mana masing-masing kandidat President mencoba menawarkan mimpi-mimpi indah yang diformulasikan dengan adonan mereka masing-masing. Namun yang harus kita cerdasi dan kritisi adalah mungkinkah resep-resep yang mereka tawarkan itu akan menghasilkan kue yang lezat dan bisa dinikmati semua rakyat ngeri ini...??? oleh karenanya sebagaimana Paul dan Linda (2004) dalam “The Thinker’s Guide To Fallacies: the art of mental trickery and manipulation”. Mari kita kritisi setiap resep para kandidat sehingga menghasilkan sepotong kue yang benar-benar kita harapkan dan kita damba-dambakan semua. Dalam buku di atas Paul dan Linda menggambarkan cara orang berfikir:
Pertama; Uncritical Person, (intellectuality unskilled thinker’s). Mereka ini adalah orang-rang yang tidak memiliki kebebasan memilih, karena telah “terkondisikan” atau “terprogram” secara sistematis. Pikiran mereka adalah produk dari sebuah kekuatan yang mereka sendiri tidak paham. Kepercayaan mereka berdasarkan prasangka. Cara berpikir cenderung men-generalisasi, atau terlalu menyederhanakan, menjelekan, dan menuduh. Arogansi intelektual sering menjadi identitas mereka. Dunia sering dilihat dengan kacamata egoistic dan ethnocentric. Segala yang berbeda dengannya dianggap salah. Penilaiannya bercorak “hitam-putih”. Selalu ingin dipuji bahwa mereka adalah “malaikat”, dan selain mereka sebagai “setan”. Jika keyakinan di gugat, mereka merasa diserang. Karena merasa terancam, secara emosional mereka balik menyerang. Orang-orang seperti ini biasanya anti koreksi atau kritik.
Di mana pemikiran ini bersifat memvonis, berfikir benar-salah atau hitam-putih dan menganggap pemikiran-nyalah yang paling benar dan paling suci. Kalau toh kandidat yang model ini jadi pemimpin kita menurut hemat saya maka kita akan menuai bencana, karena kebebasan kita untuk berekspresi menjadi terbatasi oleh “dewan suro”. Sehingga kita tidak lagi menikmati kemerdekaan yang di anugerahi Tuhan pada kita.
Kedua; Skilled Manipulators, (weak-sense intellectual). Jumlah mereka lebih sedikit dari tipe pertama, tapi sangat ahli dalam seni manipulasi dan mengontrol orang lain. Mereka ini berfokus pada kepentingan pribadi, tanpa peduli efek buruk bagi orang lain. Sebenarnya mereka mirip dengan uncritical thinker’s, hanya saja mereka punya retorika persuasif yang handal. Maka tak perlu heran jika kelompok ini termasuk orang-orang yang sering berada di atas. Karena memang ahli dalam meraih kekuasaan dan otoritas. Lagi pula, mereka suka mendominasi dalam pergaulan. Mereka tahu cara membangun struktur kekuasaan untuk melanggengkan kepentingan. Mereka selalu mencoba tampil baik, namun bukan karena penghormatan dan penghayatan terhadap nilai-nilai, tapi dalam konteks kelanggengan kekuasaan. Mereka susah kritis terhadap lingkungan. Intelektual mereka belum merdeka, karena sering menampilkan pemikiran ganda. Di satu sisi dia percaya kepada A, di sisi lain dia memilih bicara B. mereka lebih memilih berwajah manis demi mencairnya proposal, daripada mengkritisi ketidakbenaran orang/negara yang sedang dimintai uang.
Para pemimpin puncak di Indonesia, jangan-jangan, banyak diwakili oleh golongan ini. Dan sepertinya, kader-kader seperti inilah yang lebih eksis di Indonesia daripada intelektual murni. Jika moral kritis orang-orang seperti ini gagal terkoreksi secara terus-menerus, suatu saat mereka akan jadi politikus negeri yang selalu tampil necis tapi kosong intelektual. Singa podium, tetapi baca konsep. Alasannya agar tidak salah ngomong. Padahal, kapasitas intelektual kurang memadai. Pada tingkat yang lebih ekstrim, mereka hadir di tengah massa dengan penampilan prima, namun suka berbohong dan manipulasi fakta.
Cara berfikir yang kedua ini cenderung melogika-kan segala sesuatu (apology). Semua-semua di logika-kan dengan kepiawaian retorika speak-nya. Bahasa mereka menarik, hangat dan sangat indah, mereka pandai memanfaatkan situasi. Namun sebenarnya mereka hanyalah manipulator, semua yang mereka kemukakan hanyalah lips dan mimpi belaka karena tujuan mereka hanya untuk kepentingan sendiri. Pemimpin seperti ini saat berkuasa cenderung banyak omong dan segala sesuatunya selalu dianggap remeh, toh nanti saat Laporan Pertanggung Jawaban mereka berusaha membuat mencari kambing hitam sebagai alasan yang simple dan mudah dipahami oleh kita. Wal hasil pemimpin seperti ini hanya membuat kita bermimpi dan terus bermimpi, padahal kita sadar bahwa mimpi itu tidak pernah benar-benar menjadi kenyataan. Alias NATO ( No Action Talk Only)
Ketiga; Fair-Minded Critical Person, (strong-sense critical thinker’s). kelompok ini paling kecil jumlahnya. Mereka inilah yang selalu mengkombinasikan pikiran kritis, keseimbangan penilaian, kejujuran, melihat secara mendalam, menyandarkan argument kepada keakuratan data, dan cenderung bekerja untuk melayani kepentingan orang banyak. Mereka tahu bagaimana mengelola kecerdasan. Meskipun mereka juga ahli dalam beretorika, namun kemampuan tersebut tidak digunakan untuk tujuan mengelabuhi. Orang seperti ini sangat susah dimanipulasi karena kekrtitisannya. Di saat yang sama, mereka juga tak suka memanipulasi. Orang-orang yang seperti ini punya visi tentang dunia yang lebih beretika, serta punya pengetahuan yang realistic tentang seberapa jauhnya kita dari dunia tersebut. Mereka punya kemampuan praktis untuk memompa perubahan dari “apa adanya” kepada “bagaimana seharusnya”. Orang-orang seperti ini adalah produk dari perjuangan panjang melawan egoisme pribadi serta dialog-dialog berkeadaban.
Cara berfikir yang ketiga inilah yang paling sedikit orangnya yakni, yang mempunyai pandangan jauh ke depan, berfikir-nya seimbang dan tidak hitam-putih. Kelompok ini menerima kritikan dan masukkan dari orang lain juga tidak kalah dalam ber-argumentasi, pemikir seperti ini cenderung banyak berbuat (action) dari pada berbicara. Mereka berfikir secara menyeluruh dan melihat dari berbagai sudut pandang. Namun tidak mengurangi nilai ke-kritis-an mereka.
Seharusnya type yang terakhir inilah yang kita damba dan kita perjuangkan untuk memimpin negeri kita tercinta ini. Sehingga kita semua tidak terjebak pada rutinitas yang membosankan dan tidak bermakna.
Kemudian kalau kita menterjemahkan konsep kepemimpinan Rasulullah SAW bagaimana sifat Rasulullah tersebut dapat kita terapkan dalam pola kepemimpinan kita. Kalau Rasulullah SAW mempunyai sifat SIDIQ (benar), seharusnya seorang pemimpin itu adalah orang-orang yang benar dalam ucapan, tindakan, pemikiran, serta benar dalam tauhidnya juga. Sehingga dengan adanya keserasian antara pemikiran, ucapan, tindakan serta juga punya visi yang benar serta istiqamah seorang pemimpin akan mencetuskan ide-ide pembaharuan dengan benar secara alamiah dengan berbagai ilmu dan disiplin skill yang dia miliki.
Sifat Rasulullah yang kedua adalah TABLIGH (menyampaikan), artinya adalah seorang pemimpin itu harus bisa menterjemahkan dengan benar apa yang dia tahu dan juga terus mengingatkan sesama dalam hal kesempurnaan sebuah tindakan yang menyangkut kemaslahatan umat. Seharusnya seorang pemimpin itu adalah orang yang menjaga betul semua tindakan dan sikapnya dalam menyuarakan kebenaran dan terus berusaha untuk mencari kesempurnaan terhadap solusi keummatan.
Lalu yang ke tiga dari sifat Rasulullah adalah AMANAH (dapat dipercaya), artinya adalah seorang pemimpin seharusnya dapat menjaga semua tanggung jawab yang di embunnya. Baik dalam menjaga kepercayaan rakyat dalam negerinya, sebab jika seorang pemimpin yang amanah tidak akan menggelapkan dana rakyat, dan dia akan membuat perimbangan antara anggaran untuk rakyat dengan pejabat yang mengurusnya ini akan di lakukan secara proporsional, tidak timpang apalagi kalau kebanyakan kepada pejabatnya ketimbang untuk rakyatnya.
Yang terakhir dari sifat Nabi Muhammad SAW ialah FATHONAH (Cerdas), artinya adalah seorang pemimpin itu tidak hanya pintar, karena sangat berbeda antara pintar dengan cerdas. Kecerdasan seorang pemimpin ini harus menyeluruh, baik dari segi kecerdasan bertindak, menterjemahkan, membuat keputusan, dan lain sebagainya. Dengan kecerdasan ini seorang pemimpin akan mampu bertahan dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dari beberapa pengalaman masa lalu di mana kandidat yang menawarkan konsep-konsep dibangun atas dasar politik primodial, skat-skat, terbukti sudah bahwa ideology politik yang seperti itu tidak membawa angin segar buat perubahan dan jawaban atas kebutuhan rakyat Indonesia. Maka pada Pemilihan Umum presiden kali ini kiranya kita sebagai rakyat, pemikir dan intelek mampu memposisikan diri pada jalur yang tepat sehingga tidak lagi terjebak dengan trick “politik instant” yang tengah dihembus-hembuskan oleh para kandidat kita.
Dari ke empat sifat Rasulullah SAW ini bisa kita coba formulasikan dengan kebudayaan Indonesia itu sendiri, sehingga Saya mencoba menyimpulkan bahwa seorang pemimpin yang cocok untuk Indonesia saat ini setidaknya memiliki kecakapan; Integrasi (jujur), visioner, politisi profesional, negarawan tangguh, manajerial yang efektif dan efisien serta transparan, konseptor, solidarity maker, problem solving, sebagai pelaksana dan kepemimpinan pembaharu (transformational). Sebagaimana tema besar dari Advance Training Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Sumatera Barat, yakni melahirkan pemimpin alternatif sebagai solusi terhadap persoalan umat dan bangsa.
Oleh karenanya, dalam pemilu yang akan datang mari kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk mengkritisi, menganalisis, dan memutuskan ke arah mana kita akan menghadapkan dan menentukan pilihan kita masing-masing akan kita jatuhkan. Sebagai intelektual muda, pemikir, pembaharuan dan agen of change, seharusnya kita tidak lagi terjebak pada resep-resep primordialisme, yang itu terbukti telah menghancurkan kita.*****
Billahi Taufiq Walhidayah
YAKIN USAHA SAMPAI!!!

LAWAN KORUPSI SEKARANG JUGA

Oleh: Sumardi Evulae Kepala BPL HMI Kota Jantho Rakyat dan korupsi adalah entitas sosial dan hukum yang mempertunjukkan relasi yang kadang-kadang aneh dan kontradiktif. Di satu pihak, rakyat begitu ingin melihat pemerintahan diselenggarakan dengan mendasarkan pada asas-asas transparan dan akuntabel, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun di pihak lain, rakyat kadang kala menjadi aktor pembantu bagi berlangsungnya praktek-praktek KKN di jajaran birokrasi. Melalui budaya terabas, rakyat membuat korupsi menjadi tumbuh dengan subur di segala lini, dan membantu lahirnya koruptor-koruptor baru di negeri ini. Tetapi rakyat yang demikian, saya sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut ditentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran masyarakat itu dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk hak. Di antaranya hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum dan; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada pengeka hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
Di samping tiga hak di atas, masyarakat pikir hanya segelintir jumlahnya. Jumlah terbanyak rakyat adalah yang antikorupsi, sebab sejatinya korupsi itu membuat rakyat menjadi pihak pertama yang paling menderita. Dalam perspektif ini, maka rakyat harus mulai dengan sangat serius memikirkan peran serta dalam membantu mencegah terjadinya korupsi atau membantu penegak hukum mengendus pihak-pihak yang berperilaku korup.
Peran serta rakyat dalam memberantas korupsi diartikan sebagai peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Landasan normatif bagi peran serta tersebut sudah diatur dalam UU No. 31/1999 berhak untuk memperoleh jawab atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak dalam waktu paling lama 30 hari. Individu atau pekerja organisasi masyarakat/aktivis LSM yang melapor dugaan korupsi juga berhak memperoleh perlindungan hukum dalam kaitannya dengan pelaksanaan hak-hak tadi. Mereka juga berhak diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan UU.
Norma hukum yang kurang lebih sama juga juga diatur dalam PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut ditentukan bahwa setiap orang, ormas, LSM, berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi serta menyampaikan saran atau pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara korupsi.
Dalam PP tersebut dikuatkan kembali pemberian perlindungan hukum kepada masyarakat yang melapor dugaan korupsi, baik status hukum maupun rasa aman, bahkan jika diperlukan penegak hukum juga wajib memberi pengamanan fisik kepada pelapor dan keluarganya. Namun beberapa perlindungan di atas dikecualikan jika pelapor sendiri terlibat dalam korupsi yg dilaporkan atau bila pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain. Penegak hukum atau komisi wajib merahasiakan identitas pelapor atau isi informasi, saran atau pendapat pelapor.
Sarat Masalah Perkiraan saya bahwa ada berbagai masalah berkaitan dengan peran masyarakat dalam memberantas korupsi terjustifikasi dalam workshop mengenai pemberantasan korupsi yang diselenggarakan oleh Tim Anti Korupsi Pemerintahan Aceh (TAKPA) dan Kemitraan (Partnership) di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Peserta workshop mengatakan bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak terafiliasi dengan ormas atau LSM antikorupsi belum sepenuhnya mengetahui dan memahami bahwa ada hak untuk berperan dan peran serta dalam memberantas korupsi di negeri ini.
Masalah lain adalah ada warga masyarakat yang mengetahui bahwa ada hak untuk berperan serta namun takut atau khawatir menggunakan hak tersebut. Mereka takut, jangan-jangan setelah melapor dugaan korupsi, mereka kemudian berurusan dengan polisi atau kejaksaan, atau sekalian kemudian bernasib sial; menjadi pesakitan, tersangka atau terdakwa. Rasa takut ini juga dialami oleh aktivis LSM-LSM antikorupsi, bukan hanya warga biasa.Tetapi bukankah hukum sudah memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melapor?
Betul, kata peserta workshop, namun dalam kenyataan tidak sepenuhnya demikian. Ada sejumlah contoh yang kemudian membuat warga masyarakat termasuk aktivis LSM antikorupsi tetap memelihara rasa khawatir, enggan atau takut dalam beraktifitas, karena ”setelah melapor kehilangan kambing, malah kehilangan kerbau.” Di Banda Aceh, Meulaboh, dan Aceh Timur, pelapor dipanggil oleh penegak hukum, rata-rata diperiksa dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Di Sabang, sebuah LSM diperkarakan sampai ke pengadilan, untung kemudian LSM ini menang. Ada kesan bahwa masyarakat belum sepenuhnya percaya bahwa perlindungan itu betul-betul akan mereka peroleh setelah melapor dugaan korupsi.
Hal lain yang teridentifikasi sebagai masalah adalah publik sebenarnya tidak mengetahui secara persis mana perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi atau mana yang bukan (sebuah fakta, karena bisa menunjukkan betapa tipisnya perbedaan antara halal dan haram di ranah publik). Publik juga tidak tahu apa sesungguhnya standar kebijakan pemerintah yang harus dipantau, sehingga akan diketahui apakah standar itu dipatuhi atau tidak.
Dikatakan juga, ada masalah dengan mekanisme pelaporan. Ketentuan PP yang mensyaratkan bahwa isi laporan harus disertai bukti-bukti awal tentang pelaku dan dugaan korupsi, dianggap memberatkan masyarakat karena korupsi merupakan kejahatan yang kompleks atau rumit. Ditanya pula, dapatkah laporan itu disampaikan kepada dinas-dinas terkait, bukan ke penegak hukum? Sesungguhnya, fokus perhatian adalah kepada mekanisme penyampaian keluhan. Seingat saya, beberapa unit pemerintah termasuk kepolisian telah menyediakan semacam kotak pengaduan, namun warga kurang memanfaatkan kotak tersebut. Namun mengenai kotak ini, ada juga keprihatinan soal tindak lanjut, apakah sebenarnya betul-betul laporan itu diproses atau didiamkan saja.
Momentum dan Agenda Semua masalah sebagaimana disebutkan di atas telah dibicarakan secara terbuka. Di pihak lain, pemerintah termasuk Pemerintah Aceh juga telah mulai sedemikian terbuka bicara komitmen dan agenda pemberantasan korupsi. Gubernur Irwandi bahkan membentuk TAKPA dan pernah melapor langsung dugaan korupsi di beberapa daerah kabupaten ke Kantor KPK di Jakarta, serta sedang mempersiapkan MoU dengan KPK. Dulu, fenomena ini tidak nampak; pemerintah enggan bicara korupsi, bahkan cenderung menutupinya serta menyelesaikan kasus ”secara adat” karena akan membuka borok sendiri.
Suasana yang sudah berubah ini harus dijadikan momentum untuk secara kongkrit diarahkan kepada agenda pemberantasan korupsi di NAD. Masukan peserta workshop perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Kelihatannya, keterbukaan dalam setiap kebijakan pemerintah, perencanaan anggaran, implementasi proyek-proyek untuk kesejahteraan rakyat, pengawasan atas kegiatan pembangunan, begitu didambakan oleh masyarakat banyak. Masalah-masalah yang sudah diidentifikasi di atas, perlu ditindaklanjuti. Pendidikan antikorupsi kepada publik perlu segera dimulai, baik melalui jalur formal (penyusunan kurikulum pendidikan antikorupsi) maupun melalui jalur nonformal. Modal sosial yang sudah ada, kondisi daerah yang sudah damai, berlakunya syariat Islam di NAD, harus dapat dimanfaatkan dengan baik, agar tidak hilang diterbangkan angin atau hanya dijadikan jargon semata.
Konsistensi penegak hukum merupakan satu kemutlakan. Rasa takut warga atau LSM harus dapat dihilangkan dengan menunjukkan sikap yang betul-betul taat kepada norma hukum, misalnya mengenai perlindungan tadi. Masyarakat harus diajarkan cara melapor yang benar dan bertanggung jawab, namun jika mereka sudah melakukan demikian, maka jangan sampai kemudian mereka dijadikan tersangka. Jangan ada manipulasi atas laporan masyarakat, dan jangan pula sampai tergoda kepada fulus yang ditawarkan terlapor.
Sesuai dengan aturan hukum pula, penegak hukum dan atau KPK wajib memberi respon atas laporan masyarakat dalam tempo 30 hari sejak laporan diterima. Ketentuan ini hendaknya dipatuhi, sehingga warga atau LSM yang sudah mengambil inisiatif melapor dugaan korupsi, merasa dihargai dan merasa bahwa laporan yang disampaikan tidak dibuang ke tong sampah. Last but not least, UU dan PP di atas mengatur tentang pemberian penghargaan kepada setiap pelapor sejumlah sekian persen dari nilai uang korupsi yang dilaporkan. Jika kemudian terbukti benar laporan tersebut, maka penghargaan itu wajib diberikan kepada pelapor. Jasa warga masyarakat atau LSM harus dihargai, bukan kemudian malah diklaim sebagai jasa penegak hukum.
Kasus Simeulue Dalam kasus bupati Simeulue saya melihat upaya pemerintah dalam menegakkan hukum sudah lumayan bagus dari sebelumnya artinya secara hukum semua warga negara berkedudukan yang sama baik itu pejabat atau rakyat biasa bisa. Satu persatu pejabat kita yang melakukan pelanggaran hukum sudah mulai mendapat vonis di meja hijau dengan berbagai tindak kejahatan yang pernah mereka lakukan. Di Simeulue pada tahun 2007 yang lalu para anggota DPRK periode 1999-2004 telah divonis bersalah oleh PN Sinabang, mereka sempat mendekam dalam tahanan. Kini giliran bupati yang divonis pengadilan telah melakukan pelanggaran terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi areal perkebunan sawit milik kabupaten Simeulue (PDKS). Namun dalam kasus ini saya melihat ada pihak lain yang juga terlibat yakni para anggota DPRK periode sekarang maupun periode sebelumnya, karena mereka ikut memberikan rekomendasi dalam pemanfaatan lahan untuk PDKS tersebut. Jadi penegakan hukum jangan hanya mengambil momen dan menjadi gertak sambal para penegak hukum, dimana para penegak hukum hanya menakut nakuti pejabat publik dengan mengangkat satu atau dua kasus saja. Penegakan hukum harus tuntas, siapa saja yang terlibat harus mendapat ganjaran dari apa yang mereka lakukan.
Saya sangat yakin masih banyak para pejabat di daerah ini yang menyelewengkan berbagai fungsi dan aset daerah, sebut saja misalnya mobil dinas yang seharusnya berada di kabupaten Simeulue justru berkeliaran di Banda Aceh salah satunya dengan nomor polisi BL 134 S menurut amatan saya dalam 2 bulan terakhir ini mobil tersebut ada di Banda Aceh dan masih banyak lagi aset-aset daerah yang seharusnya berada di Simeulue namun beroperasi di daerah lain. Pertanyaannya apa yang dilakukan pejabat tersebut sampai selama itu di Banda Aceh? Bukankah penyediaan kendaraan tersebut seharusnya untuk menunjang tugas di kabupaten Simeulue…? Ini juga merupakan bentuk pelanggaran atau tepatnya penyalahgunaan aset negara.
Di sisi lain para pejabat publik kita saat ini seakan tidak mau ambil pusing dengan keadaan di masyarakat sendiri, bahkan lebih tepatnya mereka hanya mengurusi project apa yang bisa mereka tangani. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu teman-teman dari Ikatan Keluarga Simeulue Barat Alafan (IKASBARFAN) telah menggandeng KPK untuk sosialisasi dan simulasi tentang pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Namun ketika teman-teman sudah siap dengan kegiatan tersebut ketua DPRK Simeulue justru berpandangan sinis terhadap teman-teman penyelenggara, pejabat teras setingkat ketua DPRK tidak mendukung kegiatan sosialisasi untuk masyarakat. Lalu apa fungsi para wakil rakyat tersebut… maka sangat wajar kalau masyarakat sudah merasa tidak percaya kepada pemimpinnya, beberapa waktu yang lalu seribuan lebih tokoh masyarakat Simeulue merekomendasikan untuk segera menonaktifkan bupati Simeulue karena sudah di vonis bersalah oleh pengadilan negeri. Kita menunggu siapa lagi yang akan di hadapkan pada meja hijau. SIAPA MENYUSUL….???
Kita berharap dalam upaya penegakan hukum ini tetap mengedepankan praduga tak bersalah, namun jangan sampai penegakan hukum hanya menjadi jargon dan simbol untuk menarik simpati masyarakat. Jauh dari itu sebagai daerah yang menerapkan syari’at secara kaffah sudah menjadi kewajiban semua pihak terutama penegak hukum yang di gaji oleh negara dalam mencegah dan mengambil tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum. Sehingga daerah kita benar-benar menjadi Nanggroe aceh yang DARUSSALAM. Insya Allah
Tentu ada banyak hal lain yang perlu dilakukan dalam membangkitkan atau meningkatkan peran serta masyarakat. Namun dengan melaksanakan beberapa saja dari sejumlah agenda di atas, saya percaya pemerintah sudah mulai menuju ke arah yang tepat dalam memberantas korupsi.
Hidup rakyat, dan matilah korupsi!
YAKIN USAHA SAMPAI!!!

Tidak Ada Yang Instan

Oleh: Sumardi Evulae* Saya bertanya kepada beberapa teman mahasiswa semester akhir “Apa tujuan kalian setelah kuliah ini selesai dan kalian jadi sarjana?” “Ya jelas kerja dong...” ini jawaban spontan. “Kerja apa dan di mana?” “Apa saja, kalau bisa sih yang sesuai dengan bidang Saya. Kalau nggak dapat, pekerjaan lain juga tidak masalah. Yang penting kerja dan dapat gaji.”
Maksudnya jelas, mereka akan mencari kerja, dalam arti mencari pekerjaan di perusahaan siapa saja dengan pekerjaan apa saja kalau tidak ada yang pas, yang penting dapat gaji, uang. Itu adalah cita-cita mereka. Selama Saya ngobrol dengan teman-teman mahasiswa jarang sekali Saya mendapatkan jawaban, bahwa setelah kuliah ini mereka akan membuat atau menciptakan sesuatu. Menjadi peneliti tentang pendidikan misalnya, kemudian merombak sistem pendidikan yang sering di katakan oleh para pakar pendidikan sebagai tidak betul, tetapi si pakar itu sendiri tidak pernah membetulkan.
Atau misalnya menjadi pencipta dan penemu yang berhubungan dengan pendidikan formalnya, katakanlah seorang Sarjana Ekonomi jurusan manajemen yang menjadi suatu sistem manajemen terbaru, yang bisa mengatasi kesenjangan manajemen di suatu kantor yang khas sistem keluarga. Atau seorang lulusan akuntansi yang menemukan suatu sistem tertentu untuk menangkal pungli dan praktik under the table.
Penemu, pencipta, dan peneliti biasanya justru menjadi pekerjaan para pengangguran yang terpaksa mengaku diri sebagai peneliti, pencipta dan penemu supaya tidak di katakan pengangguran. Para fresh graduate lebih senang menjadi kuli untuk membenarkan ungkapan yang ada di jaman penjajahan, van volk van koelies en koeli onder de volken!
Bila ditanya mengapa kok begitu, jawabannya pasti seragam, masalah modal dan pengalaman. “Saya kan nggak punya modal.” “Saya kan nggak punya pengalaman.” Itulah ungkapan golongan Ekonomi bawah. Bagi yang kelas Ekonominya agak ke atas, jawabannya juga seragam, “Ayah kan udah uzur, jadi kita dong yang mesti menggantikan ayah mengurus usaha keluarga.” Susah-susah sekolah sampai ke Amerika, setelah pulang cuma jadi bos bengkel mobil atau ngurusin perusahaan angkutan truk kelas local.
Mahasiswa kita didik oleh profesor dan para pakar yang memakai sistem dogma, betul salah, dan memorisasi. Jadi tidak salah kalau mereka lulus dan memulai hafalannya dengan “mencari kerja” sebagai kuli dan bukan penemu. Para pakar mengatakan dengan bahasa halus bahwa mahasiswa kita tidak siap pakai. Memangnya Mau di pakai untuk apa? Apa ungkapan “tidak siap pakai” itu tidak salah? Bila para mahasiswa tadi seharusnya siap pakai, apa itu tidak berarti menjadi kuli? Apa memang kita produsen kuli dan di takdirkan menjadi bangsa kuli seperti ungkapan kuno itu? Kalau para pakar mengetahui bahwa mahasiswa “tidak siap pakai”, mengapa mereka tidak berusaha mengubah tatanan pendidikan yang diajarkannya agar para mahasiswa itu “siap pakai”, sehingga paling tidak bisa menciptakan kuli yang tidak menganggur? Lalu muncullah jawaban klise dari para pakar, “Mengubah struktur atau sistem pendidikan itu bukan hal mudah, harus melewati prosedur dan birokrasi, kita tidak bisa seenaknya mengubah suatu yang sudah mapan begitu saja …”
Kalau para pakar tetap dengan budaya prosedur, birokrasi, dan minta petunjuk, mohon perkenan, sampai kapanpun keadaan tetap sama. Mengubah struktur dan sistem pendidikan bukanlah seperti yang sering dikatakan para pakar di forum seminar dan lokakarya di hotel mewah atau ruang pertemuan bergengsi lembaga pendidikan. Mengubah struktur dan sistem pendidikan di mulai dengan mengubah cara berpikir para pendidik itu sendiri dan cara berpikir kita dengan pola yang tidak hanya didominasi oleh otak kiri. Bukan dengan mengubah anak didik kita atau mengubah kurikulum melalui seminar atau lokakarya.
Mengubah cara berpikir kita sendiri yang berprofesi pendidik adalah yang terutama dan terpenting. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan soal gaji guru yang kecil dan masih di potong di sana sini, juga tidak berurusan dengan kondisi politik atau siapa presiden atau menteri pendidikannya. Ini hal yang sangat pribadi, sangat personal, tiap orang bersedia dan Mau mengubah cara berpikir dirinya sendiri. Itu saja, sudah lebih dari cukup. Bila dulu seorang guru berpikir menjadi guru adalah sebuah pekerjaan, sekarang ubahlah pikiran itu bahwa menjadi guru adalah sebuah misi, sebuah kebahagiaan meskipun harus dijalani dengan banyak keprihatinan. Ini kurang lebih sama dengan pengabdian seorang abdi dalem kraton di Jawa Tengah. Pengabdian adalah sebuah anugrah, derita fisik dan materi bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kesempatan mengabdi kepada raja.
Bila profesi guru, dosen, dan pengajar masih menjadi sebuah pekerjaan dan bisnis, selama itu pula mahasiswa kita akan lulus dengan titel “tidak siap pakai”. Profesi guru, dosen dan pengajar seharusnya menjadi sebuah ritual yang menciptakan kebahagiaan dan kualitas hidup bagi pelakunya. Itulah upah pokok seorang guru, dosen, atau pengajar.
Sekolah di luar negeri bukanlah solusi selama tatanan dan pola pikir sedari lahir sampai menjelang dewasa tetap dengan tatanan khas yang kita dapat secara umum di negara kita. Dominasi otak kiri kita sudah berjalan cukup lama melewati beberapa generasi, ini di turunkan dan di wariskan lewat berbagai cara secara intensif detik demi detik oleh rata-rata masyarakat kita. Apakah itu bisa berubah begitu saja secara instant melalui pembelajaran atau perubahan kurikulum?
Kebiasaan menghafalkan pelajaran atau diktat (yang gunanya dalam kehidupan patut dipertanyakan), sadar tidak sadar melekat kuat bagai lintah. Kebiasaan matematika-ria setiap saat di setiap cela kehidupan, apapun itu, juga cukup erat juga bagaikan kebudayaan dan kultur. Bahkan kepada Tuhan pun masyarakat kita sangat sering ber-matematika-ria, bila hari ini Saya berbuat sesuatu yang kurang lebih berdosa atau melanggar sesuatu larangan menurut kitab suci, maka Saya harus berdo’a begini dan berbuat begitu supaya dosa tersebut diampuni. Soal individu lain yang kita rugikan melalui perbuatan yang tadi kita mintakan pengampunannya itu, apakah kita juga akan meminta maaf dan mengganti kerugian? Tidak perlu karena kita sudah “diampuni” Tuhan. Benarkah demikian?
Manusia berdo’a demi sebuah kapling di surga, dan ini adalah kenyataan yang bisa kita lihat sehari-hari. Manusia sudah berbisnis dengan Tuhan. Dan Tuhan menjadi pengusaha properti berlabel The Heaven Real Estate. Untuk ini hampir semua unsur dan berbagai sektor kehidupan harus ikut bertanggung jawab. Keadaan seperti ini tidak mungkin kita ubah secara instant menjadi lebih baik dan menjadi lebih seimbang cara berpikirnya. Saat ini ada puluhan juta orang Indonesia menjadi pengangguran, sementara para pejabat serta pakar berkoar soal iklim yang kondusif, bagaimana menarik investor, bagaimana mendapat utang luar negeri dan IMF. Reformasi dan demokrasi sekarang artinya menjadi lain dan sangat bias: bebas menjarah, bebas membakar-bakar, boleh berdemo di mana saja, boleh memaki-maki siapa saja, boleh membakar hidup-hidup seorang pencuri ayam atau sepeda motor. Dan, ini aneh, di balik itu semua kita berusaha mendapatkan label sebagai Manusia-Manusia religius.
Mengubah cara pikir bukanlah dengan agama atau kurikulum tetapi dengan mengubah diri, melakukan perjalanan ke dalam diri dan mengenal spiritualitas sebagai spiritualitas.
Ini yang sulit karena kita harus berani belajar tanpa lembaga, tanpa titel, dan tanpa harapan akan mendapatkan apa-apa. Tindakan ini suatu perjalanan petualangan yang akan menempuh gurun pasir terpanas, sungai dan lautan terganas, tetapi juga sekaligus sebuah hutan misterius yang begitu alamiah dan wangi khas hutan.
Tanpa harapan adalah hal terpenting yang akan menjadi tajuk awal perjalanan kita. Yang selanjutnya adalah pemahaman pada proses dan ketidakpedulian pada hasil akhir. Ini adalah deretan syarat untuk memulai perjalanan panjang tentang pemberdayaan diri dan mengembangkan kemampuan otak kanan.
Apakah Anda siap untuk memulai pelajaran ini? Tulisan ini tidak akan menjadikan Anda orang hebat atau sukses dalam segala bidang, apalagi seorang pintar yang jenius. Penulisnya pun bukan orang istimewa yang pintar dan jenius. Tulisan ini dibuat sebagai sebuah catatan perjalanan, sebuah catatan harian dan memoar untuk mengenang perjalanan panjang yang belum selesai.
Tulisan ini hanya akan menggelitik Anda untuk memulai perjalanan dan kemudian menemani di sepanjang perjalanan itu. Bukan membimbing! Bukan! Bila diinginkan label yang lebih jelas, paling-paling tulisan ini hanya akan menjadi seorang pelayan, seorang pembantu yang siap melayani Anda di dalam perjalanan. karena itu Saya menunggu Anda memulai perjalanan yang tidak bisa instant ini.
“Satu-satunya kata berhasil sebelum kerja keras Hanya ada dalam kamus”
Tulisan yang sederhana ini Saya persembahkan buat teman-teman mahasiswa Universitas Serambi Mekkah, khususnya buat sahabat-sahabat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Universitas Serambi Mekkah (USM). “berbuatlah semaksimal mungkin tanpa harus mengharapkan pujian dan label pahlawan. Karena kemuliaan yang sesungguhnya adalah ketika karya kecil kita menjadi bermanfaat buat umat, dicatat sebagai satu amal oleh malaikat dan mendapat ridha Allah SWT serta menjadi bekal kita kelak di akhirat. Berbuatlah seolah-olah semua bergantung padamu, dan di atas segalanya berdo’alah karena semua bergantung pada Allah SWT”
Yakin Usaha Sampai!!! * General Secretari of Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Serambi Mekkah (BEM-USM) periode 2004-2005, sekarang bekerja sebagai program manager pada NGO AMPPA. bisa di hubungi pada ardi.ev83@gmail.com dan sumardihmi@yahoo.com

Sumardi Evulae


my fan