Senin, November 30, 2009

10 Jurus Ampuh Menjadi Pemimpin

Hanya ada dua pilihan dalam hidup ini: memimpin atau dipimpin. Menjadi bawahan atau atasan. Jika Anda memilih untuk jadi pemimpin, berarti Anda ingin diikuti. Sebaliknya, ketika Anda secara sadar memilih menjadi bawahan, maka Anda secara otomatis akan menjadi pengikut. Jadi, bagaimana? Tentukan pilihan Anda sekarang juga. Karena, jika Anda enggan jadi pemimpin, orang lain yang akan maju. Jika Anda enggan ke depan, orang lain yang akan memimpin. Karena itu, segeralah jadi kepala. Jika tidak, Anda akan menjadi ekor seumur hidup.
Masalahnya, "Menjadi pemimpin itu tidak mudah," pikir sebagian orang. Atau, "Memimpin diri sendiri saja susah, apalagi memimpin orang lain?" keluh sebagian orang lainnya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga berpikir demikian? Jika tidak, selamat! Anda layak untuk maju. Jika jawaban Anda ya, sebaiknya Anda bergegas untuk membenahi diri. Pilihan menjadi bawahan seumur hidup, bukanlah alternatif terbaik bagi Anda. Lantas, bagaimana menjadi pemimpin yang baik? Ayo, mari kita saling berbagi. Anda boleh mencoba 10 jurus ampuh menjadi pemimpin. Boleh jadi, Anda tidak cocok dengan jurus-jurus yang saya tawarkan. Coba saja! Toh, jika Anda gagal, setidaknya Anda sudah mencoba. Teddy Rosevelt pernah menyatakan, "Ia yang tidak membuat kekeliruan, tidak akan membuat kemajuan."
So, coba saja! Jangan takut salah. Jangan takut jadi pemimpin. Tidak perlu sibuk bertanya kiri-kanan, "Apakah saya punya bakat jadi pemimpin?" Ingat, tidak ada satu pun orang yang terlahir sebagai pemimpin. Nah, ini dia 10 jurus ampuh menjadi pemimpin.
1. Berani Belajar. Menjadi seorang pemimpin, berarti memilih secara sadar untuk terus belajar. John Wooden, seorang pelatih basket ternama, berpesan kepada kita, "Yang penting adalah apa yang Anda pelajari setelah mengetahui semuanya." Bagaimana jika seseorang telah meraih posisi puncak di perusahaannya, masihkah harus tetap belajar? Jawabannya singkat: ya. Boleh jadi, Anda masih perlu belajar tentang bagaimana meningkatkan pendapatan Anda, atau tentang bagaimana memimpin bawahan yang gemar menantang atasan. Jadi, meskipun Anda telah mencapai posisi yang diinginkan, sekalipun Anda telah mendapatkan kedudukan yang didambakan, Anda harus tetap belajar. Termasuk belajar dari bawahan Anda, atau belajar dari orang-orang yang Anda pimpin.
2. Belajar berinisiatif. Tanpa inisiatif, Anda tak akan berkembang. Tak akan ke mana-mana. Tak akan mencapai puncak. Boleh jadi Anda sudah mapan, sudah nyaman pada posisi yang Anda duduki saat ini. Tapi, jika Anda terus-terusan berpuas diri, Anda bisa digusur orang lain. Jadi, teruslah mengasah inisiatif Anda.
3. Belajar disiplin. Telisik diri Anda. Apakah Anda selalu datang ke kantor tepat waktu? Apakah Anda termasuk tipe orang yang menghargai waktu? Apakah Anda sering menepati janji? Ya, disiplin adalah kunci sukses menjadi pemimpin. Ingat, orang pertama yang Anda pimpin adalah diri sendiri. Jika Anda gagal memimpinnya, bagaimana mungkin Anda memimpin orang lain? 4. Belajar membangun kompetensi. Orang yang memiliki kompetensi yang tinggi, akan melangkah lebih jauh. Untuk menjadi seorang pemimpin, Anda harus memiliki jurus ini: Kompetensi. Jika Anda membangun, Anda akan mendapatkannya. Untuk memilikinya, Anda harus terus belajar, terus tumbuh, dan terus memperbaiki diri. Willa A. Fester mencerahkan kita dengan pesannya, "Kualitas tidaklah pernah merupakan suatu kebetulan. Kualitas merupakan hasil dari tekad yang bulat, upaya yang tulus, dan kerja keras."
5. Belajar berkomunikasi. Anda tidak mungkin mengungkapkan kebutuhan perusahaan, jika Anda tidak bisa mengkomunikasikannya. Anda tidak mungkin menyuruh, jika Anda susah menyuarakannya. Anda tidak mungkin meminta, jika Anda tidak sanggup menyuarakannya. Demikianlah, Anda butuh komunikasi. Karena, Anda tidak bisa menjalankan perusahaan yang Anda pimpin, menggerakkan orang-orang yang Anda pimpin, jika Anda tidak terampil berkomunikasi.
6. Belajar membangun integritas. Saya yakin, Anda memiliki integritas diri sebagai karakter, kepribadian, dan gaya hidup Anda. Kejujuran, keteguhan hati, ketulusan, dan keramah-tamahan adalah integritas Anda. Karenanya, Anda pantas menjadi pemimpin. Anda layak menjadi panutan. Karena pemimpin yang baik adalah sekaligus bisa menjadi teladan.
7. Belajar membangun hubungan yang harmoni. Menjadi pemimpin tidak berarti menguasai. Malah, bisa jadi, berarti melayani. Menjadi pemimpin tidak selalu memaki-maki. Malah, kalau perlu, memberikan motivasi dan menyuntikan semangat. Meminjam istilah Mawell, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Atau, mungkin Anda perlu menyimak fatwa Ma'ruf Mushthofa Zurayq, "Kita sering dipisahkan oleh batasan, karena kita lebih rajin membangun dinding, bukan jembatan."
8. Belajar mendengarkan. Suatu ketika, Wodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat, menyatakan bahwa, "Telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak." Jika Anda berniat menjadi pemimpin yang baik, maka jadilah pendengar yang baik. Buka telinga Anda. Simak baik-baik. Jika Anda mendengarkan bisikan-bisikan karyawan Anda, maka Anda tidak akan mendengarkan teriakan-teriakan mereka.
9. Belajar bertanggung jawab. John C. Maxwell, pada satu kesempatan menuturkan, "Seorang pemimpin dapat melupakan apa pun, kecuali tanggung jawab akhir." Ya, seorang pemimpin adalah penanggung jawab. Ketika anak buahnya melakukan kesalahan, bahkan yang berakibat fatal, ia tidak akan menumpahkan semua kesalahan kepada karyawannya itu. Alih-alih mencari kambing hitam, pemimpin yang baik malah sibuk introspeksi: Mengapa karyawan saya melakukan banyak kesalahan? Pemimpin yang bijak adalah biasa merangkul. Bukan menyudutkan!
10. Belajar menyelesaikan masalah. Masalah bukan untuk dihindari, melainkan untuk diselesaikan. Ukuran sukses Anda ditentukan oleh seberapa hebat Anda menuntaskan persoalan yang menimpa. Takaran kehebatan Anda memimpin ditentukan oleh seberapa dahsyat Anda menyelesaikan masalah yang Anda hadapi.
Nah, jika Anda telah menguasai jurus-jurus di atas, tunggu apalagi? Saatnya Anda beraksi. Anda bisa. Do it now!

Senin, September 28, 2009

MENGAPA KITA PERLU AGAMA ... ???

Sejarah telah mencatat—sebagaimana diberitakan Al Qur’an—bahwa sebelum diturunkannya agama (diasumsikan sebagai petunjuk dari Tuhan), pekerjaan manusia adalah merusak dan membunuh. Ini dapat diketahui dari protesnya para malaikat saat dimintai "pendapat" ketika Tuhan akan mengangkat seorang khalifah (wakil/Rasul)-Nya. Protesnya: "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah (wakil/Rasul/utusan) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" (QS.2:30). Ungkapan protes ini jelas sekali menandakan bahwa sebelum sang khalifah/Rasul/utusan (pembawa/pengajar) agama (Nabi Adam) diturunkan di muka bumi, perbuatan manusia adalah benar-benar merusak dan menumpahkan darah. Tidak beradab. Moralnya benar-benar tidak ada, rusak sama sekali. Seperti suku Barbar yang meluluhlantakan peradaban suku mana pun yang dijumpainya. Keadaan yang sangat kacau kalau dan carut marut inilah yang membuat malaikat—konon sebagai makhluk yang paling patuh dan mulia di sisi-Nya—angkat bicara. Dengan ”sangat terpaksa” memberanikan diri menginterupsi kebijakan Tuhan. Seolah tak yakin—mungkin juga "gak gaduk" pikirannya—kalau manusia yang demikian "bobrok" moralnya ini bisa dipercaya membawakan misi (agama)-Nya, menjadi khalifah-Nya. Kekhawatiran berlebihan tersebut nyatanya memang benar-benar terbukti. Setelah sang pembebas kegelapan benar-benar diturunkan, watak manusia ternyata tidak banyak berubah. Merusak dan membunuh masih kental sebagai kepribadiannya. Bukti riilnya justru terjadi pada putra Nabi Adam sendiri, peristiwa bunuh membunuh antara Qabil dan Habil. Padahal mereka berdua adalah orang yang paling dekat dan paling mungkin mengerti-memahami ajaran (agama) sang Rasul. Sangat ironis sekali. Yang paling dekat saja masih demikian ”bobrok” moralnya, bagaimana dengan yang jauh? Apalagi yang tidak pernah bertemu langsung dengan sang pembawa (pengajar) agama? Mencermati hal ini, maka tidak heran bila pada zaman prasejarah dulu peradaban manusia dihiasi dengan penjajahan, peperangan, dan pembunuhan. Berbagai bentuk penindasan telah menjadi kebiasaan, telah menjadi napas dalam kehidupan. Berlanjut sampai masa awal peradaban Islam, masih adanya penjajahan hak asasi yang berupa sistem budak—memperlakukan manusia bagai binatang yang dipekerjakan maupun diperjualbelikan. Lalu, Apa Hakekatnya Agama? Mungkin sekali, ketika Rasul Adam menjalankan misi Tuhan belum menggunakan istilah agama. Apalagi menamakan diri sebagai suatu agama, jelas tidak. Sebab, istilah agama sendiri lahir dari peradaban bangsa yunani, yang akar katanya: a tidak dan gama rusak. Sehingga, agama dapat dimaknakan menjadi seperangkat ajaran (sistem kepercayaan/keyakinan) yang dapat menjaga sekaligus mengantarkan pemakai (pemeluknya) agar tidak rusak. Tentu saja istilah agama ini lahir pasca kekhalifahan Adam. Sebab, logikanya, hanya melalui ajaran Adam-lah manusia mulai mengenal kebenaran. Manusia mulai mengenal istilah rusak tidak rusak. Mulai mengenal dari mana asalnya kebenaran, bagaimana ia musti terjadi, dan bagaimana pula mempraktikkannya dalam keseharian. Terlebih kebenaran mutlak wujud/zat-Nya—yang memang tidak mungkin dapat diselami tanpa melalui khalifah/wakil/Rasul-Nya. Entah apa nama agama beliau. Sejauh ini saya belum tahu pasti apa nama agamanya. Tampaknya memang belum ada penelitian yang komprehensif (menyeluruh) berkaitan dengan hal ini. Informasi-informasi yang berkaitan dengannya pun tidak banyak, kecuali yang tersurat dalam berbagai kitab Suci. Namun yang jelas, sebagaimana keyakinan dan pengalaman saya, yang beliau ajarkan adalah ajaran ketuhanan. Ajaran tauhid. Ajaran yang mengarahkan, mengertikan, dan memahamkan bagaimana mentauhidkan zat, sifat, dan af'al-Nya. Sekaligus pula ajaran yang mengajarkan bagaimana me-Mahasucikan Diri-Nya dalam keseharian. Serta, ajaran yang menekankan bagaimana seharusnya berlaku sebagai hamba (makhluk) di hadapan penciptanya (khalik) dan bagaimana membawa diri menempati posisi yang semestinya ditempati. Hakekat ajarannya sama dengan ajaran para Rasul-Nya sesudahnya. Sama-sama mengajarkan tauhid. Sama-sama mengakui satu Tuhan. Sama-sama mengupayakan bagaimana meng-Esakan-Nya. Sama-sama mengajarkan kebaikan, perdamaian, pengakuan hak asasi setiap orang. Juga sama-sama mengakui kemerdekaan individu yang universal. Yang membedakan hanyalah syariatnya. Kalau zaman Rasul sesudahnya ada ibadah haji maupun salat, pada zaman Adam belum ada. Sebab ibadah haji diturunkan pada zamannya Nabi Ibrahim. Sedangkan ibadah salat diturunkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Demikian pula zamannya Nabi Isa, di sana pun belum ada ibadah salat. Sebab ibadah salat diturunkan pasca kekhalifahan Nabi Isa. Begitu seterusnya. Hakikat ajarannya yang sama, syariat (tata lahiriah)-nya saja yang mungkin bisa berbeda. Terus, Mengapa Ada Banyak Agama? Ada dua faktor (perspektif logika dan pemikiran) yang mendasari mengapa ini bisa terjadi. Pertama, faktor manusianya. Faktor ini lebih didominasi oleh wataknya manusia yang suka membuat kerusakan di atas. Oleh karenanya sangat mungkin bahwa pada generasi penerusnya melakukan hal yang sama, berani merusak ajaran Rasul. Misalnya dengan mengadakan agama "tandingan". Atau mendirikan golongan-golongan baru, yang dalam jangka waktu tertentu mungkin jadi bisa berubah menjadi ”agama baru”. Sebab, yang dikatakan merusak bukan hanya sekadar merusak hardware-nya bumi langit dan seisinya, melainkan merusak software-nya pula. Merusak ajaran kebenaran. Merusak sistem ber-Tuhan yang dibawa Rasul. Merusak ”grand idea”(ide agung/mulia) atas penciptaan bumi langit dan seisinya—termasuk diciptakannya manusia. Maupun merusak kesanggupannya sendiri, yang berupa kesediaan memikul amanah dari-Nya (yang disanggupi oleh semua manusia tanpa kecuali ketika masih di alam arwah dulu). Faktor kedua adalah karena kekuasaan Tuhan. Faktor ini tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk para malaikat—sebagaimana kisah di awal tulisan ini. Menjadi hak mutlak-Nya bila Dia menurunkan agama baru—sebagai revisi terhadap agama sebelumnya. Sebagaimana yang jelas-jelas dapat dicermati, kisah penurunan agama Nasrani, dari komunitas agama yang sudah ada sebelumnya (Yahudi, maupun agama lain yang pernah turun lebih dulu). Demikian halnya penurunan agama Islam di lingkup berbagai macam agama yang sudah ada sebelumnya (Yahudi, Majusi, Nasrani, maupun agama lain yang lebih dulu ada). Perlunya “revisi agama” terhadap agama-agama yang terdahulu ini tidak jauh beda dengan revisi undang-undangnya buatan manusia—baik yang UUD maupun UU lainnya. Karena dirasa tidak cocok lagi dengan zamannya (karena zaman telah berubah), bermuatan kolonialis, berindikasikan paham “kiri”, produk barat, atau karena kurang demokratis sehingga perlu ada revisi baik isi maupun substansinya. Bila hal yang demikian (revisi undang-undang) menurut penciptanya sendiri adalah suatu yang niscaya, maka Tuhan pun lebih dari sekadar niscaya melakukan revisi atas agama yang pernah Dia turunkan di muka bumi. Dia Maha Niscaya. Dia Maha menentukan dan Maha mengubah segala sesuatunya, yang menurut pemikiran manusia dianggap tidak mungkin. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa berapa pun banyaknya agama di muka bumi ini, bila Tuhan menghendaki, maka pasti terjadi. Manusia tidak akan sanggup memprediksinya. Contoh yang sangat kecil, bila Nabi SAW waktu itu memprediksi bahwa Islam nanti akan pecah menjadi 73 golongan, ternyata sekarang tidak lagi sedemikian jumlahnya. Telah mencapai ribuan bahkan mungkin jutaan pecahan baru. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa dari ribuan macam agama yang ada di bumi ini, yang benar dan sekaligus sempurna hanya satu. Yaitu agama yang di tengah komunitasnya ada khalifah/Rasul/utusan-Nya. Kedudukan sang Rasul ini sebagai "kabel" (penghubung) antara Tuhan dengan hamba-Nya. Sebagai "juru bicara"-Nya yang sekaligus "tangan kanan"-Nya, yang akan membimbing manusia pulang pada Diri-Nya. Tidak peduli apakah agama "update" ini punya basis masa atau tidak. Tidak peduli apakah ia diterima oleh umat manusia atau malah sebaliknya, dilecehkan dan dianggap membuat agama baru—yang biasanya dilakukan oleh penganut agama pendahulu. Bagaimanapun situasi dan keadaannya, proyek Tuhan mengentaskan kebodohan hamba-Nya tetap jalan terus. Tak ada agama mana pun—baik pemimpin maupun penganutnya—yang sanggup menghalanginya. Sekalipun semua agama yang telah ada di bumi ini bersatu padu untuk menentangnya, kekuasaan Tuhan (perihal ini) tak akan berhenti dan tak ada yang sanggup menghentikannya. Lebih dari itu, Tuhan tidak bangga bila semua hamba-Nya mau mengakui agama yang ”selalu” Dia update ini. Dia juga tidak risih, tidak susah, dan tidak pula "ngenes" bila mereka berbalik memusuhi pembawa ajaran (misi)-Nya. Sebagaimana firman tegas-Nya: “barangsiapa ingin beriman berimanlah, barang siapa ingin kafir kafirlah” (QS.18:29). Kesimpulan Jadi, sejatinya, perlunya diturunkan agama oleh-Nya adalah agar makhluk-Nya yang namanya manusia tidak lagi berada dalam kegelapan. Tidak lagi terjebak dalam kerusakan. Tidak lagi merasa puas atas keyakinan yang pernah diterimanya. Tidak pula merasa puas berada di ”langit” ilmu pengetahuan-pengalaman yang selama ini diyakini. Sebab, ”di atas langit masih ada langit”. Di mana ada ilmu pengetahuan-pengalaman yang tinggi—termasuk pula dalam agama—masih ada lagi pengetahuan-pengalaman yang lebih tinggi. Yaitu pengetahuan-pengalaman yang langsung dari Zat Yang Maha Tinggi. Kemudian mau mencari di mana al-haq (kebenaran sejati) itu berada. Tidak merasa paling benar sendiri, baik di hadapan sesamanya dan apalagi di hadapan penciptanya. Berusaha untuk tidak merasa dan mengakui bahwa agamanyalah agama yang paling benar dan paling ”diridhai” di sisi-Nya. Sebab, Tuhan nyatanya tidak memandang nama agamanya, melainkan memandang bagaimana beriman yang sejati kepada-Nya dapat diimplementasikan. ”Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS.2:62). Selanjutnya, pikirannya mau menafakuri bahwa apa pun agama (keyakinan/paham) yang dipegang teguh selama ini, ada konsekuensi luar biasanya di hari akhir nanti. ”Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. 22:17). Yang pada akhirnya berani menerima kenyataan bahwa benar dalam pandangan manusia belum tentu benar menurut Tuhan. Sedang kebenaran mutlak-Nya mau tidak mau harus diterima oleh manusia, bila tidak ingin menanggung kerugian yang tak terhingga besar-beratnya di hari kiamat nanti. Sebagaimana pepatah timur tengah: ”yang benar akan selalu benar walaupun tidak seorang pun melakukan, yang salah tetap salah walau semua orang melakukan”

my fan