Selasa, Juli 22, 2008

LAWAN KORUPSI SEKARANG JUGA

Oleh: Sumardi Evulae Kepala BPL HMI Kota Jantho Rakyat dan korupsi adalah entitas sosial dan hukum yang mempertunjukkan relasi yang kadang-kadang aneh dan kontradiktif. Di satu pihak, rakyat begitu ingin melihat pemerintahan diselenggarakan dengan mendasarkan pada asas-asas transparan dan akuntabel, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun di pihak lain, rakyat kadang kala menjadi aktor pembantu bagi berlangsungnya praktek-praktek KKN di jajaran birokrasi. Melalui budaya terabas, rakyat membuat korupsi menjadi tumbuh dengan subur di segala lini, dan membantu lahirnya koruptor-koruptor baru di negeri ini. Tetapi rakyat yang demikian, saya sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut ditentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran masyarakat itu dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk hak. Di antaranya hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum dan; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada pengeka hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
Di samping tiga hak di atas, masyarakat pikir hanya segelintir jumlahnya. Jumlah terbanyak rakyat adalah yang antikorupsi, sebab sejatinya korupsi itu membuat rakyat menjadi pihak pertama yang paling menderita. Dalam perspektif ini, maka rakyat harus mulai dengan sangat serius memikirkan peran serta dalam membantu mencegah terjadinya korupsi atau membantu penegak hukum mengendus pihak-pihak yang berperilaku korup.
Peran serta rakyat dalam memberantas korupsi diartikan sebagai peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Landasan normatif bagi peran serta tersebut sudah diatur dalam UU No. 31/1999 berhak untuk memperoleh jawab atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak dalam waktu paling lama 30 hari. Individu atau pekerja organisasi masyarakat/aktivis LSM yang melapor dugaan korupsi juga berhak memperoleh perlindungan hukum dalam kaitannya dengan pelaksanaan hak-hak tadi. Mereka juga berhak diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan UU.
Norma hukum yang kurang lebih sama juga juga diatur dalam PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut ditentukan bahwa setiap orang, ormas, LSM, berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi serta menyampaikan saran atau pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara korupsi.
Dalam PP tersebut dikuatkan kembali pemberian perlindungan hukum kepada masyarakat yang melapor dugaan korupsi, baik status hukum maupun rasa aman, bahkan jika diperlukan penegak hukum juga wajib memberi pengamanan fisik kepada pelapor dan keluarganya. Namun beberapa perlindungan di atas dikecualikan jika pelapor sendiri terlibat dalam korupsi yg dilaporkan atau bila pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain. Penegak hukum atau komisi wajib merahasiakan identitas pelapor atau isi informasi, saran atau pendapat pelapor.
Sarat Masalah Perkiraan saya bahwa ada berbagai masalah berkaitan dengan peran masyarakat dalam memberantas korupsi terjustifikasi dalam workshop mengenai pemberantasan korupsi yang diselenggarakan oleh Tim Anti Korupsi Pemerintahan Aceh (TAKPA) dan Kemitraan (Partnership) di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Peserta workshop mengatakan bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak terafiliasi dengan ormas atau LSM antikorupsi belum sepenuhnya mengetahui dan memahami bahwa ada hak untuk berperan dan peran serta dalam memberantas korupsi di negeri ini.
Masalah lain adalah ada warga masyarakat yang mengetahui bahwa ada hak untuk berperan serta namun takut atau khawatir menggunakan hak tersebut. Mereka takut, jangan-jangan setelah melapor dugaan korupsi, mereka kemudian berurusan dengan polisi atau kejaksaan, atau sekalian kemudian bernasib sial; menjadi pesakitan, tersangka atau terdakwa. Rasa takut ini juga dialami oleh aktivis LSM-LSM antikorupsi, bukan hanya warga biasa.Tetapi bukankah hukum sudah memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melapor?
Betul, kata peserta workshop, namun dalam kenyataan tidak sepenuhnya demikian. Ada sejumlah contoh yang kemudian membuat warga masyarakat termasuk aktivis LSM antikorupsi tetap memelihara rasa khawatir, enggan atau takut dalam beraktifitas, karena ”setelah melapor kehilangan kambing, malah kehilangan kerbau.” Di Banda Aceh, Meulaboh, dan Aceh Timur, pelapor dipanggil oleh penegak hukum, rata-rata diperiksa dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Di Sabang, sebuah LSM diperkarakan sampai ke pengadilan, untung kemudian LSM ini menang. Ada kesan bahwa masyarakat belum sepenuhnya percaya bahwa perlindungan itu betul-betul akan mereka peroleh setelah melapor dugaan korupsi.
Hal lain yang teridentifikasi sebagai masalah adalah publik sebenarnya tidak mengetahui secara persis mana perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi atau mana yang bukan (sebuah fakta, karena bisa menunjukkan betapa tipisnya perbedaan antara halal dan haram di ranah publik). Publik juga tidak tahu apa sesungguhnya standar kebijakan pemerintah yang harus dipantau, sehingga akan diketahui apakah standar itu dipatuhi atau tidak.
Dikatakan juga, ada masalah dengan mekanisme pelaporan. Ketentuan PP yang mensyaratkan bahwa isi laporan harus disertai bukti-bukti awal tentang pelaku dan dugaan korupsi, dianggap memberatkan masyarakat karena korupsi merupakan kejahatan yang kompleks atau rumit. Ditanya pula, dapatkah laporan itu disampaikan kepada dinas-dinas terkait, bukan ke penegak hukum? Sesungguhnya, fokus perhatian adalah kepada mekanisme penyampaian keluhan. Seingat saya, beberapa unit pemerintah termasuk kepolisian telah menyediakan semacam kotak pengaduan, namun warga kurang memanfaatkan kotak tersebut. Namun mengenai kotak ini, ada juga keprihatinan soal tindak lanjut, apakah sebenarnya betul-betul laporan itu diproses atau didiamkan saja.
Momentum dan Agenda Semua masalah sebagaimana disebutkan di atas telah dibicarakan secara terbuka. Di pihak lain, pemerintah termasuk Pemerintah Aceh juga telah mulai sedemikian terbuka bicara komitmen dan agenda pemberantasan korupsi. Gubernur Irwandi bahkan membentuk TAKPA dan pernah melapor langsung dugaan korupsi di beberapa daerah kabupaten ke Kantor KPK di Jakarta, serta sedang mempersiapkan MoU dengan KPK. Dulu, fenomena ini tidak nampak; pemerintah enggan bicara korupsi, bahkan cenderung menutupinya serta menyelesaikan kasus ”secara adat” karena akan membuka borok sendiri.
Suasana yang sudah berubah ini harus dijadikan momentum untuk secara kongkrit diarahkan kepada agenda pemberantasan korupsi di NAD. Masukan peserta workshop perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Kelihatannya, keterbukaan dalam setiap kebijakan pemerintah, perencanaan anggaran, implementasi proyek-proyek untuk kesejahteraan rakyat, pengawasan atas kegiatan pembangunan, begitu didambakan oleh masyarakat banyak. Masalah-masalah yang sudah diidentifikasi di atas, perlu ditindaklanjuti. Pendidikan antikorupsi kepada publik perlu segera dimulai, baik melalui jalur formal (penyusunan kurikulum pendidikan antikorupsi) maupun melalui jalur nonformal. Modal sosial yang sudah ada, kondisi daerah yang sudah damai, berlakunya syariat Islam di NAD, harus dapat dimanfaatkan dengan baik, agar tidak hilang diterbangkan angin atau hanya dijadikan jargon semata.
Konsistensi penegak hukum merupakan satu kemutlakan. Rasa takut warga atau LSM harus dapat dihilangkan dengan menunjukkan sikap yang betul-betul taat kepada norma hukum, misalnya mengenai perlindungan tadi. Masyarakat harus diajarkan cara melapor yang benar dan bertanggung jawab, namun jika mereka sudah melakukan demikian, maka jangan sampai kemudian mereka dijadikan tersangka. Jangan ada manipulasi atas laporan masyarakat, dan jangan pula sampai tergoda kepada fulus yang ditawarkan terlapor.
Sesuai dengan aturan hukum pula, penegak hukum dan atau KPK wajib memberi respon atas laporan masyarakat dalam tempo 30 hari sejak laporan diterima. Ketentuan ini hendaknya dipatuhi, sehingga warga atau LSM yang sudah mengambil inisiatif melapor dugaan korupsi, merasa dihargai dan merasa bahwa laporan yang disampaikan tidak dibuang ke tong sampah. Last but not least, UU dan PP di atas mengatur tentang pemberian penghargaan kepada setiap pelapor sejumlah sekian persen dari nilai uang korupsi yang dilaporkan. Jika kemudian terbukti benar laporan tersebut, maka penghargaan itu wajib diberikan kepada pelapor. Jasa warga masyarakat atau LSM harus dihargai, bukan kemudian malah diklaim sebagai jasa penegak hukum.
Kasus Simeulue Dalam kasus bupati Simeulue saya melihat upaya pemerintah dalam menegakkan hukum sudah lumayan bagus dari sebelumnya artinya secara hukum semua warga negara berkedudukan yang sama baik itu pejabat atau rakyat biasa bisa. Satu persatu pejabat kita yang melakukan pelanggaran hukum sudah mulai mendapat vonis di meja hijau dengan berbagai tindak kejahatan yang pernah mereka lakukan. Di Simeulue pada tahun 2007 yang lalu para anggota DPRK periode 1999-2004 telah divonis bersalah oleh PN Sinabang, mereka sempat mendekam dalam tahanan. Kini giliran bupati yang divonis pengadilan telah melakukan pelanggaran terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi areal perkebunan sawit milik kabupaten Simeulue (PDKS). Namun dalam kasus ini saya melihat ada pihak lain yang juga terlibat yakni para anggota DPRK periode sekarang maupun periode sebelumnya, karena mereka ikut memberikan rekomendasi dalam pemanfaatan lahan untuk PDKS tersebut. Jadi penegakan hukum jangan hanya mengambil momen dan menjadi gertak sambal para penegak hukum, dimana para penegak hukum hanya menakut nakuti pejabat publik dengan mengangkat satu atau dua kasus saja. Penegakan hukum harus tuntas, siapa saja yang terlibat harus mendapat ganjaran dari apa yang mereka lakukan.
Saya sangat yakin masih banyak para pejabat di daerah ini yang menyelewengkan berbagai fungsi dan aset daerah, sebut saja misalnya mobil dinas yang seharusnya berada di kabupaten Simeulue justru berkeliaran di Banda Aceh salah satunya dengan nomor polisi BL 134 S menurut amatan saya dalam 2 bulan terakhir ini mobil tersebut ada di Banda Aceh dan masih banyak lagi aset-aset daerah yang seharusnya berada di Simeulue namun beroperasi di daerah lain. Pertanyaannya apa yang dilakukan pejabat tersebut sampai selama itu di Banda Aceh? Bukankah penyediaan kendaraan tersebut seharusnya untuk menunjang tugas di kabupaten Simeulue…? Ini juga merupakan bentuk pelanggaran atau tepatnya penyalahgunaan aset negara.
Di sisi lain para pejabat publik kita saat ini seakan tidak mau ambil pusing dengan keadaan di masyarakat sendiri, bahkan lebih tepatnya mereka hanya mengurusi project apa yang bisa mereka tangani. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu teman-teman dari Ikatan Keluarga Simeulue Barat Alafan (IKASBARFAN) telah menggandeng KPK untuk sosialisasi dan simulasi tentang pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Namun ketika teman-teman sudah siap dengan kegiatan tersebut ketua DPRK Simeulue justru berpandangan sinis terhadap teman-teman penyelenggara, pejabat teras setingkat ketua DPRK tidak mendukung kegiatan sosialisasi untuk masyarakat. Lalu apa fungsi para wakil rakyat tersebut… maka sangat wajar kalau masyarakat sudah merasa tidak percaya kepada pemimpinnya, beberapa waktu yang lalu seribuan lebih tokoh masyarakat Simeulue merekomendasikan untuk segera menonaktifkan bupati Simeulue karena sudah di vonis bersalah oleh pengadilan negeri. Kita menunggu siapa lagi yang akan di hadapkan pada meja hijau. SIAPA MENYUSUL….???
Kita berharap dalam upaya penegakan hukum ini tetap mengedepankan praduga tak bersalah, namun jangan sampai penegakan hukum hanya menjadi jargon dan simbol untuk menarik simpati masyarakat. Jauh dari itu sebagai daerah yang menerapkan syari’at secara kaffah sudah menjadi kewajiban semua pihak terutama penegak hukum yang di gaji oleh negara dalam mencegah dan mengambil tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum. Sehingga daerah kita benar-benar menjadi Nanggroe aceh yang DARUSSALAM. Insya Allah
Tentu ada banyak hal lain yang perlu dilakukan dalam membangkitkan atau meningkatkan peran serta masyarakat. Namun dengan melaksanakan beberapa saja dari sejumlah agenda di atas, saya percaya pemerintah sudah mulai menuju ke arah yang tepat dalam memberantas korupsi.
Hidup rakyat, dan matilah korupsi!
YAKIN USAHA SAMPAI!!!

1 komentar:

  1. Ya.. saya sepakat. kerena semua kita wajib untuk saling mengingatkan dan mencegah terjadinya penyakit akut yakni KORUPSI.

    BalasHapus


my fan