Senin, Februari 08, 2010

ETIKA BER-POLITIK.. Perlukah...????

“the struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” (perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa)
Mirek
Senada dengan kalimat di atas filsuf Paul Ricouer menegaskan pentingnya kesadaran untuk memelihara akal sehat. Kesadaran yang merangkum pengalaman-pengalaman masa lalu serta kesadaran atas pentingnya ingatan agar masa depan bisa dihubungkan dengan masa lalu. Kata Ricouer, dosa yang paling berat bagi peradaban manusia adalah lupa. Dan bukankah Al-Qur’an juga mengatakan: 1) “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”, serta 2) “Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia”. Termasuk bagi kita, sekarang dan di sini. Mengapa bagi kita lupa merupakan ancaman yang serius? Salah satunya karena pemerintahan Orde Baru (Orba) telah meninggalkan banyak catatan dan pelajaran untuk di ingat, direnungkan dan dievaluasi. Tiga puluh tahun Orba adalah narasi tentang otoritarian, penindasan, kekejaman, keserakahan, dan ingkar amanah. Menjalani orde reformasi dengan amnesia politik akan membuat kita tetap terpuruk karena mengulang kekeliruan fatal di masa lalu. Contoh amnesia ini adalah kerinduan pada Orba. Lupa bisa direncanakan dan diprogram. Proyek lupa ini bisa dilakukan dengan program mengingat yang lain (sehingga perhatian akan sebuah isu penting bergeser), black out (tidak di munculkan) ataupun manipulasi sejarah (misal tentang Sukarno, Supersemar, Gerwani, G30S atau Timor Timur pada masa Orba). Belakangan ini, ancaman yang mendukung lupa adalah munculnya gejala shortermism, yakni berpikir jangka pendek yang maunya serba cepat (speed). Politik Uang Pada masa reformasi ini terlihat sejumlah kemajuan dalam sistem politik. Di antaranya adalah sistem pemilihan umum (pemilu) dan sistem kepartaian. Jika pada masa Orba, pemilu legislatif dilakukan oleh lembaga pemilihan umum (pemerintah), kini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independent. Jika sebelumnya presiden dipilih oleh legislatif, kini oleh rakyat. Jika sebelumnya Kepala Daerah di tunjuk – kemudian dipilih oleh DPRD (UU No 22/1999) – kini oleh Rakyat (UU No 32/2004). Tentu tanpa melupakan sejarah bahwa pada tahun 1955 kita pernah menyelenggarakan pemilu yang paling demokratis. Demikian juga partai politik (parpol). Jika pada masa Orba yang terjadi adalah pembatasan tiga parpol yang tidak kompetitif (hegemonic party system), maka pada tahun 1999 ada 48 parpol peserta pemilu, kemudian 24 parpol pada peserta pemilu pada tahun 2004 yang kompetitif. Tentu juga perlu di ingat, lahirnya 36 setelah Maklumat Pemerintah, 3/11/1945. Maka semenjak lengsernya Suharto (1998), sistem politik Indonesia semakin demokratis, yakni melibatkan lebih banyak rakyat dalam berpolitik, setidaknya dalam proses pembentukan sebuah pemerintah perwakilan (representative government). Meski demikian fungsi pemilu sebagai pendidikan politik dan legitimasi politik masih terganggu oleh praktik-praktik yang destruktif. Salah satunya adalah politik uang (money politik). Pada pemilu 2004, pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan Jaringan LSM di delapan kota besar mencatat sedikitnya ada 114 kasus politik uang. Hampir sama dengan pemilu 1999, mayoritas modus politik uang di lakukan dalam bentuk pembagian uang secara langsung pada masa kampanye, rapat akbar atau deklarasi partai politik (50,87%), kegiatan sosial dan pembagian sembako (18,24%), pembangunan infrastruktur (7,89%), kegiatan keagamaan (7,01%), pemberian hadiah (7,89%), dan lain-lain (7,93%). Demikian juga pada pemilihan presiden dan wapres pada pilpres 2004, menurut pantauan ICW dan TII, hampir semua pasangan capres diindikasikan melakukan politik uang. Modus politik uang tersebut antara lain pembagian uang untuk menghadiri kampanye, pembagian door prize, pemberian beasiswa, sumbangan rumah ibadah, asrama yatim piatu, madrasah dan pesantren, pelayanan secara gratis, sumbangan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan rumah untuk penduduk, dan sumbangan untuk pembangunan daerah wisata. Bagaimana dengan pemilihan kepala daerah (pilkada)? Sepanjang pilkada Juni 2005 hingga mei 2006, menurut pantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), penyelenggaraannya diwarnai dengan banyak terjadi intimidasi dan politik uang. JPPR mencatat bahwa politik uang paling banyak terjadi dalam pilkada gubernur (96,1%). Sedangkan dalam pilkada bupati/walikota, praktik politik uang terjadi di 90,4% kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Modusnya dalam bentuk pemberian uang tunai, pemberian barang atau souvenir, pembagian sembako, pemberian kupon, dan lain-lain. Tentu bisa di duga jumlah dan nilai praktik uang sebenarnya dalam semua pemilu tersebut jauh lebih besar daripada yang terpantau. Pertanyaan yang sering mengganggu adalah jika politik uang dilakukan oleh banyak pihak di berbagai wilayah pemilihan, apakah ini berarti praktik tersebut merupakan tradisi politik, dan karenanya menjadi lumrah yang mesti diterima? Jika demikian apa artinya ketetapan hukum yang melarang politik uang? Calon Anggota DPR/DPRD/DPD dikenai sanksi pembatalan pencalonan (UU no 12/2003 pasal 77). Calon presiden dan wakil presiden di ancam pidana penjara 2-12 bulan (UU No 23/2003 pasal 90). Demikian juga calon kepala daerah dan wakilnya di ancam pembatalan pencalonan (UU No 32/2004 pasal 82). Hukum memang tidak mengenal istilah politik uang, yang ada ialah korupsi. Jadi dalam terminologi hukum politik uang adalah korupsi. Maka pertanyaan selanjutnya, apakah kenyataannya praktik korupsi memang diterima? Kenapa kesannya kok tangan satu menolak, tangan lainnya menerima bahkan mengambil? Penjelasan Ignas Kleden tentang budaya korupsi mungkin bisa membantu. Menurut Ignas, kebudayaan sedikitnya memperlihatkan tiga tahapan perkembangan arti. Pertama, dalam keadaan normal korupsi dianggap bertentangan dengan kebudayaan (yaitu norma etik yang diberikan dalam suatu kebudayaan), dalam artian Sollen (apa yang masih harus ada). Kedua, korupsi yang tadinya bertentangan dengan Sollen dari suatu kebudayaan kemudian menjadi bagian dari kebudayaan tersebut karena dipraktikkan secara terus menerus oleh banyak orang. Di sini kebudayaan bergeser ke keadaan suatu Sein (apa yang ada). Ketiga, korupsi yang dipraktikkan terus menerus akhirnya terlihat sebagai suatu “nilai” yang harus diperjuangkan untuk di wujudkan. Tanpa mempraktikkannya maka survival dalam suatu lingkungan tertentu mungkin akan menjadi sulit. Di sini korupsi menjadi kebudayaan dalam artian Sollen kembali, tetapi dengan pergeseran arti yang luar biasa, di mana suatu arti nilai menjadi nilai. Bertolak dari penjelasan Ignas ini, kita memahami bahwa kebudayaan adalah kata kerja, bukan kata benda. Korupsi yang secara verbal kita tolak ternyata di bangun secara sistemik selama puluhan tahun pada masa Orba. Sistem politik sentralistik pada waktu itu memungkinkan korupsi membudaya secara nasional. Politik uang adalah salah satu keturunan dari budaya korupsi, bukan semata aksi orang per orang. Maka ancaman utama kita sekarang masih budaya korupsi yang menggurita. Parpol : Demi Siapa? Dalam pemilihan presiden maupun kepala daerah tidak dikenal calon independen, (kecuali dalam pilkada Aceh 2006). Semua calon harus melalui parpol. Maka otoritas pengajuan calon ada di parpol, baik pilpres (UU No 23/2003 pasal 5) maupun pilkada (UU No 32/2004 pasal 56). Yang menarik, dalam pemilihan calon yang didukung, terjadi pencairan ideologi dan aliran, baik terhadap sosok kandidat maupun sosok parpol-parpol dalam gabungan parpol. Yang memprihatinkan, fenomena penetapan kandidat di ukur dari jumlah pemberian dan kepada parpol yang mendukungnya. Syarat upeti ini juga berlaku bagi calon legislatif (caleg). Praktik inilah yang mesti kita kritisi dengan tajam. Rasionalisasi tetap ada. Seorang politisi berdalih, bagi si kandidat pemberian dana tersebut merupakan biaya politik, seperti halnya membeli bensin untuk kendaraan (politiknya) dalam perjalanan. Atau istilah seorang pengamat, “biaya sewa perahu”. Rasionya menjadi dagang sapi. Seorang politisi gaek menggambarkan sebagai berikut, “Orang yang punya posisi berusaha jadi ‘kapal keruk’, sedangkan yang tidak punya posisi tapi punya materi, banyak yang beli posisi.” Menurut politisi kawakan itu, jumlah upeti untuk caleg DPRD kabupaten/kota sedikitnya puluhan juta rupiah, DPRD Provinsi sekitar puluhan sampai ratusan juta rupiah, dan DPR bisa sampai ratusan juta rupiah. Menurutnya, ini bukan lagi degradasi politik, tapi dekadensi, pembusukan. Repotnya, UU tidak mengatur hal ini meski praktik tersebut sebenarnya termasuk politik uang. Jadi praktik ini tidak melanggar hukum meski tetap melanggar etika politik. Mengapa praktik semacam ini memprihatinkan? Pertama, calon yang dipilih parpol belum tentu tokoh terbaik yang dibutuhkan rakyat. Bahkan tokoh ideal jadi terjegal. Contoh dalam pilpres adalah mundurnya Nurcholish Madjid (alm) sebagai bakal calon presiden karena masalah ‘gizi’. Kedua, pemilu menjadi transaksi bisnis yang mengandalkan uang. Ketiga, jika terpilih, otoritas yang dimilikinya dijadikan ‘mesin uang’. Seperti pernah di ingatkan J Kristiadi, dana calon ke parpol pada pilkada adalah titik awal korupsi. Praktik politik uang dalam pilkada, menurut Gregorius Sahdan, terjadi melalui parpol, KPUD dan massa. Dalam kompetisi di tingkat internal parpol, para kandidat memberikan sokongan dana yang dibutuhkan oleh anggota parpol. Menurut Sahdan, praktis yang memenangkan kompetisi di tingkat internal parpol adalah yang memiliki uang paling banyak. Mengapa praktik upeti ini terjadi? Jawaban mudahnya, ada kecocokan antara permintaan dan penawaran. Tapi mungkin, seperti di katakan T Mulya Lubis, salah satu masalah utama parpol di negeri ini adalah belum adanya kemandirian logistik dan finansial. Kebutuhan finansial diperoleh parpol melalui otoritasnya dalam penyaringan pencalonan (presiden, legislatif, kepala daerah) maupun melalui kekuasaan, dari jabatan-jabatan strategis yang diperoleh anggota maupun kandidat yang didukungnya. Masalah lain adalah parpol tidak melakukan kaderisasi politik dengan baik. Maka parpol merekrut orang-orang di luar partai, terutama saat pilpres dan pilkada. Hasil penelitian Reform Institut (2005) menyatakan bahwa secara umum pilkada dikuasai oleh lima kelompok elite, yakni para pejabat eksekutif jajaran birokrasi lokal, para politisi partai yang menguasai parlemen daerah, para tokoh elite partai, ormas keagamaan yang berpengaruh dominan, serta para pengusaha besar yang menguasai elite ekonomi politik tingkat pusat yang mempunyai hubungan dengan daerah penyelenggara pilkada. Sebuah catatan penting untuk pilkada adalah seharusnya calon independent dibolehkan jadi peserta. Dengan demikian, tokoh yang idealis dan karenanya tidak berkelimpahan dana bisa berkopetisi tanpa terlebih dahulu dijegala oleh oligarkhi parpol. Ironis bahwa parpol sangat potensial menghalangi tampilnya putra bangsa maupun putra daerah yang terbaik. Calon independent juga bisa menghindari barter politik dengan parpol. Sistem politik kita, membolehkan keikutsertaan calon independent, yakni pada pemilu legislatif tahun 1955. Syaratnya waktu itu, caleg mendapat pendukung dari sepuluh orang pemilih dari suatu daerah pemilihan. Dengan adanya calon independent, masyarakat mempunyai pemilihan lebih banyak. Bukankah demokrasi (Yunani, demos = Rakyat, kratos = kekuasaan) pada hakekatnya adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat? Disisi lain diperbolehkannya calon independent jelas mengurangi pengaruh dan otoritas parpol. Lagi pula parpol mungkin tidak suka karena tampilnya calon independent menambah jumlah kompetitor. Parpol, berbeda dengan ormas, lahir untuk meraih kekuasaan. Pertanyaannya, Apakah parpol – sesuai dengan fungsinya – telah melakukan rekruitmen politik yang mengutamakan kualitas dan integritas kader? Apakah parpol telah melakukan pendidikan politik yang mencerdaskan, bukan indoktrinasi demi loyalitas? Apakah parpol telah menjadikan dirinya sebagai sarana partisipasi warga secara demokratis dan egaliter? Dan pertanyaan mendasar – seperti pernah dilakukan Muhammad Hatta saat kisruh DPR dan Dewan Konstituante – Apakah parpol sudah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri? Tujuan umum parpol, berdasarkan pasal 6 UU/2002 tentang partai politik, adalah: 1) Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana di maksud dalam pembukaan UUD 1945, 2) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan 3) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika parpol menggeser paradikmanya dari semata kekuasaan ke kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat maka yang dipentingkan adalah hadirnya kandidat terbaik, entah melalui partai atau independent. Terbaik berarti memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Pentingnya Etika Politik
Demokrasi memungkinkan dan memerlukan partisipasi rakyat sebesar-besarnya. Masalahnya, orang kerap mengatakan bahwa politik itu kotor sehingga harus dihindari. Tapi sebagai warga negara sebenarnya kita tak bisa lepas dari politik. Secara etimologis, istilah ‘politik’ berasal dari bahasa Yunani, politikos, yang berarti ‘bersangkut paut dengan warga negara’ (polites), yakni anggota suatu kota atau negara (polis)’. Politea berarti kewarganegaraan, hak-hak warga negara. Lima tahun sekali ada pemilu langsung (legislatif, presiden, kepala daerah). Golputpun sikap politik karena kita memilih untuk tidak memilih. Contoh lainnya, kita wajib mematuhi kebijakan publik. Malah saat masih berbicara, melobi, menekan untuk menggolkan atau menolak RUU tersebut. Kita bias terlibat dalam aktivitas yang berefek (political efficacy). Politik menjadi kotor jika para pemainnya bersikap pragmatis sebagai filsafat politik, yang membahas segi-segi normatif dan etis dari masalah-masalah politik, termasuk pemikiran politik dan ideologi yang mempengaruhi kehidupan politik filsafat politik? Apakah tempatnya bukan di awang-awang? Tidak, lantaran filsafat politik terus menerus dicoba diterjemahkan dalam sistem yang operasional. Pada 1789, misalnya, JJ Rousseau mencetuskan ‘kemerdekaan, persamaan, persaudaraan’ yang menjadi dasar pengembangan demokrasi. Menarik untuk kita simak apa yang ditulis ilmuan politik David E Apter bahwa filsafat politik pernah ditolak secara besar-besaran pada masa tahun 1950-an karena dianggap terlalu banyak berasumsi, dangkal, dan metafisik. Tulis Apter, “Namun dengan mengabaikan filsafat politik, ilmu politik mengecilkan dirinya sendiri. Maka, kebangkitannya menghidupkan kembali semua pendekatan kita. Kita tidak hanya menyaksikan sumbangan tradisi-tradisi klasik, pencerahan, dan radikal dengan relevansi yang segar. Melainkan juga melihatnya sebagai penangkal terhadap profesionalisme sempit dalam bidang ini dan orientasi kaum politisi yang pragmatis.” Haryatmoko juga memberikan ilustrasi menarik. Menurutnya, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau-tidak ma harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Jadi dalam perkembangan sekarang, filsafat politik atau etika politik justru semakin penting dan relevan. Tulisan ini hanya salah satu dari sekian banyak tulisan lainnya yang mengajak kita semua untuk senantiasa menjaga etika dan moral dalam melakukan politik, terutama kepada para politisi di negeri ini. Ini bukanlah mimpi di siang bolong , tetapi justru gelitikan untuk membangunkan orang yang terlelap tidur di siang bolong. Dan bagi Indonesia yang baru keluar dari otoritarian dan mencoba membangun demokrasi, kehadiran etika politik sangat mutlak sebagai rambu-rambu. Usia sistem demokrasi sudah lebih dari 200 tahun tapi di Indonesia baru sebatas urusan sembako, sindir seorang pengamat. Maksudnya, bagi sebagian rakyat yang penting adalah tercukupinya sembako, bukan soal penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Padahal kesejahteraan terkait erat dengan penegakan hukum dan HAM. Menurut Paul Ricoeur, tujuan etika politik adalah 1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, 2) upaya memperluas lingkup kebebasan, dan 3) membangun institusi-institusi yang adil. Jadi poinnya adalah kebersamaan, kebebasan dan keadilan. Mazhab Mu’tazila malah menempatkan keadilan sebagai asas etika. Dalam hal ini Saya memaparkan etika politik, banyak mengacu pada konsep dan terminologi Islam. Hal ini karena Saya yakin dan percaya kalau Islam mengatur segala tata kehidupan umat, serta Aceh sering diidentikan dengan agama Islam. Islam karenanya, terlebih dahulu perlu dilihat sebagai subtansi, bukan fiqih, skriptualisme dan formalisme. Cendikiawan muslim India Ashgar Ali Engineer menekankan pentingnya pernyataan normatif ajaran Islam yang merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an, seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini, menurut Ashgar, bersifat eksternal dan dapat di aplikasikan dalam pelbagai konteks ruang dan waktu. Yang penting digaris bawahi dalam etika Islam ini adalah akhlaq. Jalaluddin Rahmat menegaskan bahwa Islam mendahulukan akhlaq di atas fiqih. Nabi Muhammad pun menegaskan bahwa ia datang untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq. Beliau juga bersabda, “” Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaqnya yang baik walau ia lemah dalam ibadat”. Dalam corruption Perception Index (CPI) 2004, negara yang paling sedikit korupsinya adalah Finlandia (9,7), New Zealand (9,6), Denmark dan Islandia (skornya sama, 9,5). Tahun berikutnya, 2005, mereka sekedar bertukar tempat, yakni Islandia (9,7), Finlandia dan New Zealand (skornya sama, 9,6) dan Denmark (9,5). Negara-negara ini bukanlah berpenduduk mayoritas muslim. Renungkan juga ucapan cendikiawan Mesir Muhammad Abduh setelah kunjungannya ke Eropa, “Saya menemukan ‘Islam’ di Barat tanpa kaum muslim. Sebaliknya, Saya menemukan kaum muslim di Timur tanpa ‘Islam’”. Agar menjadi agama yang ‘hidup’, nilai-nilai substantif Islam perlu terus diterjemahkan sebagai kebudayaan. Nilai-nilai itu antara lain keadilan, kemaslahatan, pembebasan, kemerdekaan, persaudaraan, kesetaraan, perdamaian dan kasih sayang. Nurcholish Madjid tak bosan-bosannya mengingatkan, peran agama dalam politik ada pada level moralitas, bukan politik. Seperti di kisahkan Annemarie Schimmel, suatu saat Nabi Muhammad ditanya, “Apakah Islam yang paling baik itu?” Nabi menjawab, “Islam yang paling baik adalah jika kamu memberi makan orang yang lapar dan menyebarkan kedamaian di tengah-tengah orang-orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”. Melihat banyaknya perilaku elite yang menjadikan politik dalam perspektif dagang, wajar jika kita disergap rasa khawatir. Politik menjadi ajang bisnis, dan demokrasi menjadi – ibaratnya – ‘pasar bebas’. Di pasar ini, orang bisa membeli dukungan (vote buying) dengan penjual dengan harga beragam. Rezim Orba juga menempatkan politik sebagai transaksi bisnis tapi melalui – ibaratnya – ‘monopoli pasar’ dimana rakyat tidak punya banyak pilihan. Kita khawatir bahwa politik bukan lagi upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Untuk itu kita memerlukan ‘politisi organik’ yang sadar lingkungan (alam, masyarakat, sosial, budaya, politik) karena ia merupakan salah satu organ lingkungannya. Organ merupakan bagian dari keseluruhan yang mempunyai fungsi khusus. Apa fungsi politik organik? Menurut hemat Saya, fungsinya mendatangkan kemaslahatan dan berdaya cipta (produktif).
Salam perubahan…
penulis merupakan Sekretaris Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI ) Aceh. penulis bisa dihubungi di ardi.ev83@gmail.com atau sumardi651@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


my fan